DIKTAT
SENI BUDAYA
SENI RUPA KLAS XII
SEMESTER 1 DAN 2
OLEH :
Drs. AGUS PANCASUSILA M.Pd
NIP.19690601 1994121004
SMA NEGERI 2 KRAKATAU STEEL CILEGON
RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL
Jl. Semang Raya No. 1 Komp. KS Telp & Fax. (0254) 384813/398274 Cilegon-42435
Tahun 2009
DAFTAR ISI
BAB I SEJARAH SENI RUPA MODERN
Pendahulun, Hakekat Seni Modern
Neoklasikisme dan Romantisisme
Pelukis-pelukis Pemandangan
Manet dengan Salon dan Refuses
Impessionisme
Post Impressionisme : Paul Cozanne, Ceogres Seurat, van Gogh,
Paul Gauguin
Abad keduapuluh
Fauvisme
Expresionisme
Sebuah catatan tentang Art Nouveau
Picasso dan Kubisme
Seni Abstrak (abstarksionisme, Non-obyektivisme,
Seni Non-figuratif
Dadaisme dan Surrealisme
Realisme Sosialistis : Mexico
Amerika Serikat : Abstrak Expressionisme dan lain-lain
Tinjauan Seni Patung
Epiloog
Bibliografi
BAB II MELUKIS
MACAM-MACAM TEHNIK MELUKIS
1. Anamorfisme
2. Tehnik Sotto in su
3. Hatching
4. Impasto
5. Trompe l'oeil
6. Sfumato
7. Cyclorama
8. Chiaroscuro
HALAMAN PENGESAHAN
DIKTAT
SENI BUDAYA SENI RUPA SMA KELAS XII
SEMESTER I DAN II TAHUN PELAJARAN 2009/2010
1. DIKTAT |
MATA PELAJARAN SENI BUDAYA (SENI RUPA) KELAS XII SEMESTER I DAN II TAHUN PELAJARAN 2009/2010
|
2. PENYUSUN a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. Tugas Mengajar d. Pangkat/Golongan NIP e. Sekolah f. Alamat Sekolah g. Alamat Rumah /TLP/HP |
: Drs. Agus Pancasusila M.Pd : Laki – laki : MP. Seni Rupa (Seni Budaya) : Pembina / IV.a / 19690601 199412 1 004 : SMA Negeri 2 KS Cilegon : Jln. Semang Raya no 1 Komp. KS Cilegon : Jl.Kotabumi, Lingk. Kubang welingi Rt.08/03 Kelurahan purwakarta Kota Cilegon, (0254) 330216 HP. 08128289068
|
|
|
|
|
Mengetahui, Cilegon, Juli 2009
Kepala Perpustakaan Penyusun,
SMA Negeri 2 KS Cilegon
Wiwin Astuti S.Pd Drs. Agus Pancasusila M.Pd
NIP. NIP. 19690601 1994121004
Menyetujui / mengesahkan
Kepala SMA N2 KS Cilegon
Drs. H.Eman Sugiman M.Pd
NIP. NI19550710 198303 1 008
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena penulis telah dapat menyelesaikan penyusunan Diktat, mata pelajaran Seni Budaya Seni Rupa di kelas XII IPS 1 SMA Negeri 2 Krakatau Steel Cilegon tahun pelajaran 2009/2010”
Diktat ini berisi materi –materi Seni Rupa untuk kelas XII sesuai dengan standar kompetensi dan Kompetensi dasar dalam Kurikulum SMA Negeri 2 KS Cilegon. Yang terdiri atas dua Standar Kompetensi yaitu: Mengapresiasi karya Seni Rupa dan Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa. Materi yang disajikan dalam diktat ini diantaranya : Sejarah Seni Rupa Modern, Tehnik Melukis, Tehnik menggambar perspektif, dan tehnik mendaur Ulang.
Atas tersusunnya Diktat ini, penyusun mengucapkan terima kasih, terutama kepada :
1 Bapak Drs. H. Eman Sugiman M.Pd selaku Kepala SMA Negeri 2 KS Cilegon, yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian.
2. Kepala Perpustakaan SMA Negeri 2 KS Cilegon, yang telah memberikan persetujuan dan rekomendasi dalam penyusunan diktat tersebut.
Semoga segala amal baik yang telah diberikan kepada penyusun, dibalas oleh Allah SWT, melebihi kebaikan yang telah diberikannya.
Mudah-mudahan Diktat ini bermanfaat, khususnya bagi penyusun dan Guru-guru Seni Rupa di Kota Cilegon dan siswa-siswi SMA Negeri 2 KS Cilegon pada umumnya.
Cilegon, Juli 2009
Penulis
Drs. Agus Pancasusila M.Pd
NIP. 19690601 1994121 004
BAB I
STANDAR KOMPETENSI :
Mengapresiasi karya Seni Rupa
KOMPETENSI DASAR :
· Menjelaskan keunikan gagasan dan teknik dalam karya seni rupa modern /kontemporer
· Menjelaskan perkembangan seni rupa modern/ kontemporer Indonesia dan mancanegara
· Menampilkan sikap apresiatif terhadap keunikan gagasan dan teknik dalam karya seni rupa modern/Kontemporer.
SEJARAH SENI RUPA MODERN
PENDAHULUAN
HAKEKAT SENI MODERN
Sebelum mulai dengan penelitian terhadap ‘Sejarah Seni Lukis Modern” sebagai salah satu bagian seni rupa moderen yang menonjol, baiklah diketahui dahulu apakah “seni lukis modern” itu, agar jelaslah apa yang kita hadapi. Apalagi kalu mengingat keraguan-keraguan seperti dapat atau tidaknya kita menulis tentang sejarah yang sekarang masih berlangsung terus perkembangannya.
Sarah Nowmeyer menulis dalam bukunya bahwa seni moderen itu boleh jadi berupa gambar bison yang digoreskan 20.000 tahun yang lalu dan boleh jadi juga karya Picasso yang baru saja diselesaikan pagi ini (1). Dari ucapan ini jelaslah bahwa ia menggunakan istilah modern tersebut tidak dalam hubungannya dengan kronologi melainkan diperuntukan buat menamai sesuatu kelompok lukisan yang memiliki sifat-sifat tertentu. Maka sifat-sifat tertentu itulah yang akan kita cari. Jadi artian modern itu di sini diperluas tetapi sekaligus juga dipersempit. Diperluas karena ia menyangkut juga seni prasejarah dan dipersempit karena belum tentu apa yang dilakukan sekarang bisa termasuk didalamnya.
Kalupun secara kronologis kita akan membatasi daerah seni modern ini dan menyempitkan pada apa yang kita sebut jaman modern ini, kitapun akan mengalami kesukaran dimana menarik garis batasnya, kapankah mulainya seni lukis modern itu? “Modern art begins nowhere it begins everywhere”. It is fed by a thousand roots, from cave paintings 30,000 years old to the spectacular novelties in last week s exhibitions, kata Canaday (2). Semua pencapaian dari masa ke masa memberikan adilnya pada pembentukan seni modern ini.
Memang seni modern tidak terbatas oleh obyek-obyek lukisan tertentu ataupun gerak atau gaya tertentu, melainkan ditentukan oleh sikap batin senimannya. Iapun tidak kenal batas-batas daerah yang mempunyai tradisi-tradisi tertentu “Today tho boundaries are vague....... horizons are infinite: the artist is temped to explore in a hundred ut once (3). Dengan ini dijelaskan bahwa bagi mereka itu seni modern tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Ia sanggup menerima segala macam bentuk seni dengan hampir tiada bersyarat. Batasan-batasan yang dulu ada seperti ikatan tradisi (“spirit of the race” atau “spirit of the age”), demikian juga ketentuan-ketentuan isi ataupun tema disisihkan semuanya.
Satu sayarat yang masih dituntut oleh seni modern yang bahkan merupakan ciri khasnya, ialah “kreatifitas”. Dari sebuah perkataan ini tercantum beberapa sifat yang merupakan gejala-gejalanya. Oleh karena itu untuk menghidarkan istilah modern yang bermuka banyak itu tadi, ada yang menamai seni modern tersebut dengan “seni kreatif”
Seorang seniman modern akan melihat dunia atau bagian dari padanya seolah-olah seperti baru saja diciptakan, artinya seakan-akan baru sekali itu saja ia menghayatinya dan baru kali itu pula pelukisnya, sekalipun kenyataannya sudah beberapa kali ia melukiskan barang itu. Ia harus melupakan gambar kuda yang pernah dilihatnya ataupun tradisi/ tata cara menggambar kuda yang perna ada. Ia harus melihat kuda itu sendiri (berikut dengan mata hatinya) dan memperoleh impresi pertama dari adanya. Dalam hal ini, kira-kira 100 tahun yang lalu Courbet berkata, “ Agar supaya para pelukis mulai melihat dunia ini dengan mata kepalanya sendiri, maka museum harus di tutup selama 20 tahun”. Sikap batin inilah yang membedakan seniman modern dari golongan tradisionil ataupun akademis. Bahwa kreatifitas amat penting dalam seni modern, dan dari kreatifitas ini berkembanglah sifat-sifat originalitas kepribadian, keagamaan dan sebagainya.
Apabila seseorang anak menunjukan morong-morong dan mengatakan bahwa itu adalah anjing dan kucing, maka kiranya itulah konsepsinya atas hewan-hewan tersebut, yang belum sempat “diperbaiki” oleh hubungan dengan tradisi. Seorang orang dewasa tidak mungkin berada dalam keadaan semurni ini (belum terpengaruh sama sekali sama ikatan-ikatan sosial), oleh karena itu seorang seniman modern dengan sadar berusaha untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan sosial dan tradisi tersebut dalam hubungannya dengan tanggapannya terhadap obyeknya.
Sekalipun ada yang mendiskreditkan seni lukis yang realitis dari seni moderen namun pada umumnya berpendapat bahwa ada juga lukisan-lukisan yang bergaya realitis itu yang dapat digolongkan kedalam seni modern, tergantung dari bagaimana sikap batin si seniman dalam melukisnya. Bagaimanapun juga lukisan selalu merupakan inteprestasi dari si pelukis dalam menanggapi obyeknya. Baik ia merupakan suatu karya yang perspektivis maupun bercorak dekoratif ala Mesir kuno, adalah interprestasi juga, karena kadang-kadang orang menggunakan imajinasinya untuk menanggap obyeknya sehingga terjadilah “perspektif” susun..timbun seperti di Mesir itu, dan kadang-kadang pula menggunakan matanya yang akhirnya berkesudahan dengan diketemukannya perspektif itu. Namun keduanya tidak berhasil dalam memberikan gambaran kepada kita tentang “realitas” obyeknya; yang satu melayani ide (ideplastis) dan yang lain mengikuti matanya (fisioplastis).
Akibat dari pada luasnya daerah seni modern itu, maka variasi yang terdapat di dalamnya tak terhingga pula jumlahnya sehingga tidak mungkin untuk memasukkanya ke dalam sesuatu definisi yang formal seni modern berkisar dari yang paling realitas sampai kepada yang paling abstrak, dari seni murni ke posternya dautrec atau karikaturnya Daumier.
Seni patronage besar sekali hubungannya dengan perkembangan seni modern. Apabila dahulu patron adalah diktator-diktator seni yang sanggup menentukan arah perkembangan seni, maka kini sebaliknya yang terjadi, merekalah yang ditentukan oleh seniman. Hal ini dimungkinkan antara lain oleh makin populernya seni kecil semacam casel-painting itu, yang biayanya relatif kecil sehingga mampu diusahakan sendiri oleh para seniman dan karenanya mereka dapat melepaskan sendiri dari tergantungannya dari seorang patron. Kalau toh ada patron maka si seniman kini tidak akan menjual kebebasannya kepada mereka. Dalam sejarah seni lukis modern memang kita kenal adanya patron-patron besar seperti Theo atupun Corot yang sudi membantu anaknya selama lebih dari 30 tahun itu, tapi mereka tidak berurusan sama sekali dengan seni yang dibantunya.
Perkembangan ilmu jiwa moderen dan penemuan teknik fotografi ternyata ada juga efeknya dalam perkembangan seni lukis modern ini. Yang pertama memberi tambahan daerah jelajah bagi seni lukis, memperkenalkan dunia baru yang kaya akan obyek untuk di likisnya, ialah dunia imajinasi manusia. Dunia baru ini tidak ada batasnya, kecuali batas kemampuan manusia untuk mengedarinya yang dapat pula dikembalikan kepada kreatifitasnya. Sebaliknya, fotografi telah mengurangi daerah gerak seni lukis dengan jalan menggantikan sebagian fungsinya, ialah memberikan presentasi realitis kepada obyek-obyek tertentu. Sejak itulah seni lukis tidak lagi dibebani dengan suatu “social functions” berupa pemberian visual-aid atau gambar-gambar ilustrasi untuk bermacam tujuan; khususnya religius. (Ilustrasi-ilustrasi tertentu sekarang ini juga masih ada yang dikerjakan dengan tangan, tetani itupun di senimoderenkan, artinya kekreativan di perlukan juga di situ, sedang yang betul memerlukan ketepatan presentasi obyek lebih disuka menggunakan orbis sensualium pictur dengan pertolongan kamora). Maka oleh karena itu, timbulah kemudian perbedaan antara ilustrasi dan interprestasi, antara image dan simbol, yang merupakan fondasi yang kuat untuk mengerti perkembangan modern di dalam seni.
Akhirnya, apa yang disebut oleh Andre Malraux dengan “museum without walls’ (reproduksi-reproduksi di dalam buku-buku) bersama dengan komunikasi modern ini rupanya telah pula menjadi sebab dari sifat keinternasionalan seni modern. Sekarang ini seni yang satu dengan yang lain bergaul rapat sekali, sehingga tidaklah mudah bagi siapa saja untuk mempertahankan seni yang universil yang sekaligus juga berarti mengembangkan corak perseorangan.
LATAR BELAKANG SEJARAH
Seni lukis, bersama-sama dengan seni patung, merupakan cabang-cabang seni yang tertua umumnya. Cabang-cabang seni itu lahir hampir bersama dengan lahirnya kemanusiaan dan sekaligus menjadi bukti kehadiran dari kemanusiaan tersebut.
Hasil seni lukis yang tertua dari masa prasejarah dapat kita ketemukan di dalam gua-gua dindingnya sering penuh dihiasi dengan gambar-gambar goresan yang umumnya melukiskan binatang-binatang perburuan. Gambar-gambar tersebut dapat kita golongkan kedalam karya-karya primitif, penuh dengan spontanitas tanpa persepsi apa-apa kecuali ekspresi dari isi hatinya. Para pelukisnya belum memperhatikan intelek mereka, dan tidak pula berfilsafat untuk mengalisa karya-karyanya. Mengherankan juga bahwa karya-karya tersebut ternyata umumnya amat kreatif, sederhana namun cukup artistik.
Seni-seni Mesir, Mesopotamia ataupun Persia adalah pengganti-pengganti dari seni primitif tersebut dengan karya-karyanya yang ideal-konvensionil, karya-karya yang diikat oleh sesuatu spirit tertentu, membentuk tradisi tertentu, sehingga padanya terdapatlah seseragaman yang menyeluruh. Para partisi adalah orang-oarang yang tahu akan resep-resep tertentu dan sekaligus merupakan pekerjaan-pekerjaan yang baik. Dunia ini ditafsirkan menurut idenya, seperti misalnya orang-orang Mesir kuno menggambarkan ruang dengan jalan membuat garis-garis dasar bersusun-susun makin keatas berarti makin jauh. Demikian juga tokoh-tokohnya yang mereka sadari benar-benar bertangan dua, berkaki dua dan sebagainya diutamakan untuk melengkapi bagian-bagian tersebut, seperti pengetahuan mereka dengan segala konsekwensinya, dan ide ini adalah milik bersama.
Sementara itu di Yunani kesenian yang realitis idealitis mengutamakan imitasi yang dengan ditambah sedikit idealisasi menghasilkan suatu jenis kesenian yang dingin, tidak emosionil, dan penuh perfeksi. Sesuatu yang kreatif spontan tidak mendapat tempat. Kesenian yang seperti ini dipergunakan oleh penciptanya untuk melukiskan dewa-dewanya yang dianggapnya berbentuk sebagai manusia yang sempurna, sehingga kesenian ini tidak lain adalah bentuk konvensi juga.
Hal yang seperti ini diteruskan sampai ke masa Romawi yang sekalipun besar, hasil seninya memang boleh dikatakan sekedar tiruan saja dari seni Yunani.
Seni Byzantium yang banyak bergaul dengan dunia Timur, menampilkan kembali seni yang idealitis-konvensionil tersebut dengan tema-tema religiusnya yang pekat dan setelah kerajaan Romawi Barat mengalami keruntuhan, kesenian yang seperti ini menjalar juga ke barat serta berlangsung dalam waktu yang lama, memenuhi dua jaman, ialah jaman Romaneska (abad V – XIII A. D) dan Gotik (abad XII).
Menjelang datang jaman Renaissance muncullah tokoh yang mulai menggunakan matanya dalam melukis obyeknya, ialah Giotto (1266-1337). Ia telah mulai melepaskan diri dari tradisi yang mencekam (dalam bentuk misalnya bagaimana caranya melukiskan Maria, betapa bentuk pradabanya dan sebagainya) dan dengan ketajaman pengamatan mencoba untuk melukiskan sesuatu sesuai dengan bagaimana kelihatannya. Dengan perkataan yang lain, dalam beberapa hal ia telah melahirkan kembali seni Yunani yang sudah berabad-abad terpendam itu. Kemudian dengan melalui beberapa abad, akhirnya tercapailah pada akhir jaman Renaissance itu suatu seni yang realitis, yang bisa menangkap dengan baik pandangan optik. Hal ini dimungkinkan dengan dikeluarkannya sistem perspektif. Pada saat ini lah seni itu betul-betul bersifat ilustratif, menggambarkan pristiwa-pristiwa tertentu baik diangkat dari religi maupun yang diambilkan dari cerita-cerita mitologi. Sebuah gereja dengan lukisan-lukisannya, tidak ubahnya sebagai kitab injil yang “di komikkan” untuk kepentingan orang banyak yang umumnya masih buta huruf.
Selain prestasi realistisnya, seni Renaissance juga merintis pemunculan individu di dalam seni dan pelepasan seni dari agama secara berangsur-angsur. Namun baru berapa abad sesudah itulah seniman betul-betul merupakan individu-individu yang bebas karena sesudah masa Renaissance mereka sekedar berganti tuan, dari menghambakan diri kepada gereja beralih kepada raja. Tentu saja bergantian tuan ini menimbulkan juga pergantian tema lukisan, dari menggambarkan cerita-cerita religius berubah jadi tema-tema kesukaan raja-raja, khususnya raja-raja yang absolut, ialah adegan-adegan dari mitologi yang menggairahkan, yang cocok untuk menghias dinding-dinding istana mereka.
Hal yang semacam itu berlangsung selama berabad-abad tanpa perubahan-perubahan yang berarti, tidak ada ide-ide ataupun konsep baru di dalam seni, yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan obyek lukisan saja, yang ini melukiskan bidadari mandi, yang itu bidadari duduk, pada jaman Recoco, ialah masi terakhir sebelum evolusi moderen dimulai, tradisi seni lukis di Perancis adalah persis seperti itu, gambaran dewi-dewi yang cantik molek, dengan warna kulitnya yang merah jambu dan terutama dipilihkan dari adegan-adegan yang menggairahkan, seperti tampak misalnya pada “Vulcanus menyerahkan senjata Aeneas kepada Vanus” buah karya Francois Boucher dan “yang mandi”-nya Fragonard. Komposisi lukisan umumnya meneruskan diagonalisme Barok yang meriah namun di sini kelihatan lebih ringan seperti melayang-layang, melilit-lilit di langit biru. Tokoh-tokoh putrinya jelas menggambarkan idealisme keindahan wanita istana pada waktu itu, pahanya besar-besar dengan kepalanya yang kecilan dari proporsi yang normal.
Monalisa karya leonardo da vinci merupakan karya seni zaman Renaissance
NEOKLASIKISME DAN ROMANTISISME
Pecahnya revolusi Perancis pada tahun 1789 merupakan titik akhir akhir dari pada kekuasaan feodalisme di Perancis yang pengaruhnya terasa juga pada bagian bagian lain di dunia. Demikian revolusi ini ternyata tidak hanya merupakan perubahan tata-politik, tata-sosial seja, tetapi juga menyangkut kehidupan seni, karena dengan ini berarti berakhir pulalah pengaruh raja atas perkembangan seni. Jauh sebelum itu gereja telah memutuskan pula hubungannya dengan seniman. Oleh karena itu kini para seniman itu menjadi toko-toko yang bebas, melayang-layang tanpa hambatan. Mereka tidak punya lagi fungsi yang terang dalam tata masyarakat baru itu. “akan lambat laun terbentuknya kelompok baru dalam masyarakat, dalam kelompok seniman. Sedikit demi sedikit mereka mulai mencipta semata-mata memperturutkan penggilaan hati masing-masing. Maka dengan demikian mulailah riwayat seni lukis modern dalam sejarah yang ditandai dengan individualisasi dan isolasi diri ini.
David
Jaques Louis David (1748-1825) adalah tokoh utama dalam revolusi dan kiranya adalah pelukis pertama dalam babakan modern ini yang menempatkan dirinya sangat penting dalam masyarakat, baik secara sosial, politis, maupun intelektual.
Pada saat bentuk politis masih dibelai oleh kemewahan seni Rococo, dengan tokoh-tokoh obyeknya yang berkulit merah jambu dan selalu menggairahkan itu, pada tahun 1784 David melukiskan “Sumpah Horatii”-nya yang segera menjadi popoler. Sepintas lalu lukisan ini tidak banyak bedanya dengan karya-karya sebelumnya, tetapi sikap sipelukisnya jauh berbeda. Sebelum itu David adalah protego dari “Akademi seni lukis dan seni patung “krajaan” yang tekun mengikuti kaidah-kaidah akademis pada lukisan-lukisannya. Hal ini jelas sekali kelihatan di dalam lukisannya yang berjudul “Antiorhus dan Stratonice” (1774) yang merupakan tulisan pemenang “Prik de Rome”. Untuk memenangkan hadiah perjalanan ke Roma itu sebuah lukisan haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu seperti misalnya, menunjukan kemahiran pelukisnya dalam perspektif, anatomi, draperi, dsb. Dapat pula disaksikan dalam lukisan ini adanya komposisi yang amat manis, dengan garis-garis yang lembut dan obyek yang menarik.
“Sumpah Horatii” adalah berlainan sekali. Pertama-tama kelainan untuk menuruti aturan-aturan yang tertentu itu dalam lukisan ini sudah boleh dikata tidak ada. Lagi pula lukisan ini tidak digunakan untuk kenikmatan melainkan untuk pendidik, menenangkan kesadaran anggota masyarakat (terutama orang-orang besarnya) terhadap negara. Raja (waktu itu revolusi belum meletus) karena kurang tahunya bahwa sebetulnya dialah yang banyak terlibat dalam lukisan tersebut, telah membelinya untuk meneruskan posisinya sebagai pelindung seni.
Untuk temannya itu, kembalilah David kealam klasik dan diangkatlah novel “Horatius” Corneillo dimana diceritakan adanya dua kelompok keluarga yang berhubungan erat karena tali perkawinan tetapi terpaksa dipisahkan oleh keharusan peperangan. Obyeknya dramatis, berat, tidak menggairahkan, komposisi dan lightingnya teatriakal yang kaku, iramanya tidak lemah gemulai, tidak pink-skinned, tegasnya berlainan dengan tema-tema Rococo atupun lukisannya yang terdahulu. Pengelompokan tokoh-tokohnya sederhana, garis-garisnya lurus dan latarbelakang arsitekturnya doris yang dingin dan kaku pula, sesuai dengan kedinginan suasana keseluruhnya.
Tema lukisan poralistik David ini diteruskan lagi pada karya-karyanya “Kematian Socrates” dan “Para jiktor membawa pulang mayat anak-anak Brutus kepada ayahnya”. Terisrti dewa pada yang terakhir ini, terasa sekali bahwa segi estetis tidak begitu menjadi pertimbangan karena rupanya terlalu disibuki oleh kepentingan didaktisnya.
Dalam lukisan-lukisan di atas terlihat dengan jelas bahwa David belajar betul-betul mengenai seni klasik yang terlihat pada ketepatan detail-detailnya (pada sandal, pedang, dsb). Hal ini dimungkinkan karena adanya tokoh ahli sejarah seni rupa seperti seorang Jerman yang bernama Johenn Winekelmann itu, dan lebih-lebih lagi karena penggalian kota kuno Pompeii dan Herculanum. Sejak saat itu pengetahuan tentang seni klasik menjadi populer lagi untuk kedua kalinya (setelah jaman Renaissance).
Klasikisme David memuncak pada lukisannya “Peperangan antara Roma dan Sabina” (1799) yang ia kerjakan dengan penuh ketekunan. Untuk lukisan ini ia membuat suatu studi pendahuluan dengan pensil yang ternyata ada bagian-bagian yang lebih hidup dari karya finalisnya yang seperti yang lain-lain dingin itu. Namun dengan karyanya “Kematian Marat” (1793) David ternyata lebih berhasil mendekati klasikisme dalam lukisan ini sifat-sifat klasik seperti generalisasi, kemegahan, idealisasi itu lebih terasa dari pada lukisan-lukisannya yang lain yang justru yang bertemakan keklasikan. Di sini ia telah memilih saat yang sebaik-baiknya dari kematian Marat tersebut untuk di lukiskan.
Hubungan David dengan revolusi tidak hanya karena ia melukiskan kematian marat saja, tetapi ia juga betul-betul aktif dalam politik, ia juga menjadi tokoh penting dalam revolusi, selain sebagai juru bicara, sebagai pelukis yang mengabdikan kejadian-kejadian kejadian penting dalam lukisannya, juga. Menjadi hakim yang ikut menentukan siapa-siapa yang harus pergi ke guillotine, termasuk Louis XVI sendiri. Dengan terpilihnya kemudian sebagai anggota National Assembly dalam tahun 1892 maka ia tidak sekedar menjadi menjadi pelukis revolusi saja, tetapi juga menjadi dektator seni di Prancis, dan dengan tangan besinya memperkenalkan sifat-sifat neo-klasik yang sederhana, dingin, kaku itu diseluruh negara. Dalam sekejap seni Recoco yang dalam satu waktu abad lebih merupakan corak yang digemari itu menghilang begitu saja.
Pada waktu temen-temen seperjuangannya turun tahta, ia juga ikut menderita karena di tahan, tapi kemudian dikeluarkan dan dengan munculnya Napoleon pada puncak pemerintahan Perancis, ia naik tahta lagi, menjadi “Premier Printro de F Empeur”, dengan karya-karyanya antara lain “Le Sacre” (penobatan Napoleon, tahun 1805). Dan tidak hanya dalam seni lukis saja ia “memerintah, tetapi juga dalam seni interior, arsitektur, dan bahkan mode. Betapa dalamnya pengaruh David ini pada penganut-penganutnya, dapat disaksikan misalnya pada suatu peristiwa dimana seorang murid yang tinggi, garis-garis yang tegas dan kuat, warna-warna yang kesuraman serta emasi yang di tekan itu mengatakan dalam mempertahankan pendapatnya tersebut, “at is not who speak to you. It is David, eternally David”. Dan sekalipun akhirnya dengan dibuangnya Napoleon ke St. Helena itu David juga mengalami nasib pengasingan di Belgia sampai saat kematiannya, namun selama 32 tahun David telah menguasai perkembangan seni di Perancis berikut para artisnya.
Sepeninggalannya, sechool David ini diteruskan oleh penganut-penganutnya dan di pimpin oleh yang terbaik diantaranya ialah Jean August Dominiqut Ingres (1780-1867).
Napoleon,
Delacroix dengan pengawal-pengawalnya
Klasikisme Romantis “ATALA” dalam seni lukis nafas romantis yang mula-mula sekali tersembunyi dalam tema-tema klasik dan terdapat pada lukisan-lukisan murid David yang membubuhkan sentimen kedalam karya-karyanya. Contoh yang jelas adalah “Pemakaman Atala” (1808) karya Giradet (1767-1824) yang secara teknis bisa digolongkan kedalam buah karya neoklasik yang baik, tapi konsepnya jelas bahwa ia tergolong didalam lawan mahzab Klasikisme, ialah Romantisme.
Ceritanya diambil dari karya penulisan romantis Reno do Chatoaubriand yang fantastis, irrasionil, indah dan absurd itu. Cerita ini mengambil tempat dirimba raya Amerika, tokoh-tokohnya adalah orang-orang Indian (Atala, Heroinenya, ialah seorang peranakan putih, sedang kekasihnya Choetas, pemuda Indian). Lukisan ini romantis karena: (1) berurusan dengan perasaan perseorangan yang justru ditekan dalam neoklasik (2) segala sesuatunya eksotis, kerinduan pada tempat yang nun jauh di sana, waktu yang telah lama silam dan suasana yang asing pula (3) segala sesuatu dipergunakan untuk memarving perasaan dari penontonnya, cahaya dan penempatannya yang dramatis, kecantikan gadis yang meninggal itu penuh dengan pathos dan kesedihannya yang luar biasa dari si pemudanya.
Medusa raft (rakit medusa) Eugene Delacroix
ROMANTISME NAPOLEON: ANTOINE JEAN GROS (1771-1835).
Generasi Napoleon ialah generasi yang tidak kenal kompromi, suatu generasi yang terbiasa dengan kekerasan, haus akan pengalaman-pengalaman yang didorong oleh kesadarannya bahwa hidup ini adalah tidak kekal. Yang demikian itu cocok dengan sifat-sifat romantis. Mereka itu bisa merasakan dan mengerti penderitaan, kesakitan, ketakjuban dan kecewaan, tapi tidak kenal akan ketenangan. Bagi para perwira Napoleon yang baru saja pulang dari front itu, sandiwara klasik, lukisan-lukisan klasik yang mereka temukan di salon nampaknya tidak begitu menarik.
Gros adalah bekas murid David pula yang menilik sikap batinnya adalah seorang romantis. Ia sebenarnya tidak tergolong tokoh yang rebellious, lukisan-lukisannya juga tidak amat berbeda dengan karya David, kalaupun tidak boleh dibilang senada, namun kerinduan hatinya akan kebebasan keinginannya akan membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh David yang kuat itu (sekalipun tidak berhasil) sudah cukup untuk dipakai alasan untuk menggolongkannya ke dalam kelas romantisme. Jiwanya melankholis, sering-sering terlihat pemunculannya pada pase tokoh-tokohnya (lihatlah “Kolonel Fournier Sarlovaze” dan “Christine”). Pada lukisan “Kolonel Sarloveze” (1912) kita lihat bagaimana tokoh. Itu berdiri, kepalanya ditarik ke belakang, matanya memandang ke kejauhan, tampangnya gagah dan dengan sebuah tangan di pinggang menunjukan sikap yang manis sekali. Beckgroundnya dramatis, brus merahnya demikian juga, dan begitulah lukisan itu romantis.
Pada karyanya “Christine Boyes” (1800) keromantisannya lebih-lebih terasa lagi, seorang gadis yang cantik dengan sikap yang itu-itu saja, berasa dalam yang asing pula.
Dalam tahun 1804 ia mendapat order untuk melukis dalam rangka memperingati kunjungan Nepoleon ke rumah sakit kusta di Jaffa dimana anak buahny banyak yang menderita sakit dan mati. Rumah sakit itu sebenarnya biasa saja. Dalam lukisan ini ia bertindak berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh David (misalnya dalam karya “Marat”nya). Apabila David menghilangkan detail untuk menekan ceriteranya dan membuat adegan itu semurni mungkin. Maka Gros justru memperhatikan detail untuk mempertinggi kesan emosionalitis. Warnanya dipertegas, diperkontras dan dipadatkan. Dalam lukisan itu Napoleon digmbarkan bersikap seperti dalam tema-tema agama, dengan beraninya ia menyentuh-nyentuh badan si sakit seperti tidak takut terjangkit dan keseluruhannya mengingat kita kepada misalnya lukisan Rombrant “Kristus mengobati si sakit” yang diabilnya dari kitab suci.
DEKLARASI ROMANTIK.
Tokoh yang betul-betul rebellious dan yang untuk pertama kalinya menancapkan panji-panji Romantisme ialah Theodore Gericault (1791-1824) dengan karyanya “Rakit Modusa” (1818). Tokoh ini sejak semula menang kelihatan pemising sekali, pada tahun 1812 pada usia 21 tahun sudah berhasil memasang lukisannya di Salon. Lagi-lagi ia adalah murid David (jadi tokoh-tokoh penentang Neoklasik itu pada umumnya adalah bekas murid David dan dalangnya berasal dari Akademi; nyatanya memang tidak kisah mereka itu berbuat lain kecuali memasuki akademi tsb, sampai mati dalangnya masa dimana istilah “akademis” itu menjadi istilah ejekan).
Pada tahun 1814 ia belajar ke Roma dan kemudian kembali ke Paris pada saat di sana sedang heboh-hbohnya orang membicarakan sekandalnya yang berhubungan dengan tenggelamnya kapal transpot “Medusa” (1816). Kapal tersebut tenggelam di dekat pantai Afrika, ditinggalkan begitu saja oleh officersnya dengan menggunakan Jife-boat sedangkan penumpang lain yang berjumlah lebih dari seratus orang itu akhirnya, pada saat diketemukan tinggal 15 orang saja yang masih hidup. Hal ini menimbulkan keinginan pada Gericault untuk melukiskannya dan segera dimulailah pengumpulan bahan untuk itu secara mendalam karena terdorong oleh keinginannya untuk melukisnya serealistis mungkin. Begitu realistisnya ide nya itu sampai-sampai ia membuat rekonstruksi dari rakit tersebut dengan pertolongan salah seorang korban yang masih hidup, bahkan mayatnya dipinjamnya dari rumah sakit dan ditempatkan pada rakit itu sebagai model (salah satu karya studinya ialah “setelah kematian”).
Lukisan ini masuk Salon tahun 1819 dan ternyata menimbulkan sensasi, tetapi bukan karena indahnya, tetapi karena aktualitasnya. Tidak pernah sebelumnya publik disuguhi dengan obyek serupa itu, dimana bukan dewa bukan bidadari atupun raja dan bangsawan yang di lukis, melainkan orang-orang biasa. Bukan pula keindahan dari kenikmatan hidup yang ditunjukan, melainkan sebuah drama yang sedih dan mengharukan. Kaum kritis mengecapnya sebagai lukisan yang vulgar sensasionil, namun lompatan ini tidak mempengaruhi pendapat publik yang notabene juga gemar akan sensualisasi itu. Bahkan lukisan ini sempat pula dipertontonkan di Inggris dan dengan bea masuknya Gericault berhasil mengumpulkan banyak uang.
Kalau kita mengetahui kejadian sebelumnya, maka “ Rakit medusa” ini bagi seni Romantisme, saat Noklasiknya David. Namun mengenai bentuk lukisan itu sendiri tidak sama baru. Resep David ditinggalkan dan diangkatlah lagi Michael anggelo dan Rubens menggantinya, sekalipun bukan dalam hal kelasikkannya, tetapi cara melukisnya tokoh-tokohnya, komposisinya yang diagonalis dan sosoknya yang dramatis. Gerakan iramanya amat jelas dari kiri bawah ke atas, dari dalam bentuk tubuh telanjang, grouping ini seperti gerakannya arus gelombang yang akan memecah, “gerak” nya David dalam ‘Perang Sabina”nya.
Lukisan-lukisan Gricault yang lain ialah “Derby di Epson”, “Opsir Pengawal Istana”, “Pembunuh yang gila”, dan sebagainya.
DELACROIX (1798-1863). Dengan adanya aliran Romantisme, dengan emosionalismenya, sensistime seniman-senimannya, timbullah kelas baru dalam masyarakat, ialah kelas seniman yang sedikit demi sedikit makin banyak berbeda dengan anggota masyarakat yang lain. Delacroix adalah salah seorang contoh dari golongan Bohesia awal ini. Jiwanya yang remantis itu erat tertambat pada seninya, seluruh hidupnya diabadikan untuk lukisannya wajahnya yang handesome dan pribadinya yang unik ini jelas dilukiskannya dalam “Self-portreit”nya (1837).
Dipandang dari sudut intelektualisasinya, ia bukan seorang romantis. Keromantisannya tidak mudah terasa, karena bersifat teoritis. Ia sendiri menyatakan dirinya sebagai seorang “true-olasicist” (sebagai lawan dari klasikis palsu yang terdahulu, anggapannya) yang bisa menggeneralisasikan sebagai simbol yang universil (baginya bukan saja seorang wanita cantik, melainkan segala macam kecantikan). Roman bagikan orang-orang Arab, singa-singa, pasha dari Turki, dan sebagainya, itu menunjukan salah satu segi keromantikan.
Karier Delacroix dengan suksesnya di Salon tahun 1822 dengan lukisannya “Dante dan Vinggllius”. Sebagaimana Gricault teman dekatnya itu, ia juga menjadi pemuja Rubens dan Hichelangelo, dalam pewarnaan ia bannyak mendapat pelajaran dari pelukis Inggris John Constable yang pada waktu itu karya-karyannya sempat di pamerkan di Paris. Warnanya berjajar-jajar tidak dicampur di atas kanvas (seperti prototype Van Gogh layaknya). Hasil dari pada itu, wajahnya jadi lebih segar, cermerlang dan nampak seperti “drunkon broom”, sapuan koas yang menggila, bagi David warna adalah dekoratif saja, pengisi bidang dari bentuk-bentuknya yang sudah digambar dengan teliti seperti halnya kalu kita mewarnai batik, pola yang sudah di batik lalu di solet dengan warna. Sedang buat Delacroix warna juga memberi bentuk (prototype Cezanne) dan warna lokal biru umpamannya, bisa saja ditutul dengan ungu, atau hijau atau apa saja (prototype Nanet).
Warna-warna yang demikian itu dapat kita temui pada karyanya yang menggambarkan juga “Massacre di Seio” (1824) yang bannyak mendapat tentangan, bahkan oleh Gros menyebutkan lukisan ini bukannnya “Pembunuhan besar-besaran di Scio”, melainkan “Pembunuhan besar-besaran terhadap seni lukis”.
Delacroix gemar sekali akan obyek-obyek oriental (ketimuran, lawannya oksidental), terlihat pada lukisannya antara lain “Kematian Serdanapalus”, “Perburuan siang” dan “Perampasan Rebecca”
Neoklasikisme versus Romantisme
INGGRIS. Jean Angust Inggris adalah murid David yang pada tahun 1801 memenangkan Prik de Rame dengan Jukisannya letusan Agamenon” namun ia harus menunggu 5 tahun lagi sebelum ia bisa berangkat ke Roma karena situasi keuangan negara.
Lukisannya extrem, linier, pewarnaan tidak merupakan umur yang penting, hanya sekedar pengisi bidang saja (keduanya terasa juga pada setiap lukian Neoklasik, tetapi lebih-lebih lagi terasa pada karya-karya Inggris). Draperinya amat berlebi-lebihan sebagai salah satu unsur yang unsur menjadi lukisannya linier. Hal ini kelihatannya pada karyanya “Madame Riviero” (1806) lukisan salonnya yang ia kerjakan sesaat sebelum keberangkatannya ke Roma dan mendapat julukan “Grotis”, “bizzare” (aneh) yang mengiringi kepergiannya ke Roma dengan hati parah. Pada waktu itu ia berusia 26 tahun, Girodet belum melukiskan “Pemakaman Atalan”nya, David sedang menyelesaikan “Le Saere”, dan Delacroik dengan siapa ia nanti “berduel” lagi berusia 8 tahun.
Setelah 18 tahun berada di luar negri (14 tahun di Roma, 4 tahun di Florence) ia kembali ke Paris pada saat berkembangnya Romantisisme di sana. Ia lalu mengambil over pimpinan front Neoklasik yang sedang mendapat tantangn dari kaum muda .
Karya-karya Inggris yang lain ialah “wanita mandi dari Valpincon” (1808); “Yupiter dan Thetis” (1811); “Mandi Turki” (1853-63) “Comtesse d’Haussonville” (1845); dan lain-lain.
PERBEDAAN FAHAM: sebetuklnya ada juga para ahli yang ingin meniadakan pertentangan antara neoklasikisme dan romantisisme itu dengan mengatakan bahwa kedua aliran tersebut daerahnya berbeda dan saling tenggang-menenggang dalam sesuatu lukisan. Neoklasik adalah pengutaraan kembali corak-corak klasik, sedangkan Romantisme tidak berurusan sama sekali dengan sesuatu dengan corak sebab kepentingannya ialah dengan sikap batin yang melandasi sesuatu karya, dan bisa diproyektir pada segala macam gaya, termasuk juga corak klasik. Namun juga tidak bisa disangkal bahwa memang ada perbedaan konsepsi antara keduanya, setidak-tidaknya, pertentangan itu memang pernah ada.
Romantisme berasal dari perkataan Prancis “roman” (cerita) dan memang sejak semula aliran ini selalu melukiskan cerita-cerita yang “romantis” tentang perbuatan-perbuatan besar, tragedi yang dasyat, kejadian-kejadian yang dramatis yang diceritakan di dalam buku-buku. Dalam cara-cara pelukisannya baik pada aran semen estetisnya, maupun pada aktualitas pictorialnya. Ia selalu sedikit lebih dari kenyataan, warna yang lebih meriah, gerakan yang lebih lincah, emosi yang lebih tegas, prianya lebih gagah dan wanitanya lebih cantik, dan sebagainya. Sedang dalam “Sumpah-Horati”nya David, segalanya disederhanakan, komposisinya sederhan, gubahan massa sederhan, emosinya di tekan.
Jadi sekalipun kebentukan Neoklasik itu bisa saja di isi dengan jiwa romantik, namun perbedaannya jelas juga. Kalau David berkata : “Raso harus menjadi pelita dan pemimpin seni maka seorang romantis akan berkata bahwa hati mempunyai persoalan-persoalan yang rasio tidak tahu. Tegasnya beda itu meliputi intelektualisme kontra emosionil, rasionil dengan misterious, penggunaan ukuran-ukuran umum (generalisasi) dan pem,akaian ukuran-ukuran individuil, dan non imaginer dengan imaginer.
REALISME
Sekalipun klasikisme dan romantisisme itu dalam banyak hal berbeda namun keduanya mempunyai kesamaan juga yang aganya cukup fundamentil, ialah bahwa keduanya memandang dunia ini sebagai misteri yang dapat dipelajari untuk menemukan alasan kehadiran manusia ini (4). Keduanya adalah kaum idealis yang tidak mau menerima dunia ini seperti adanya. Yang satu dengan rasionya dan yang lain dengan perasaannya, keduanya menemukan dunia tidak seperti adanya yang kasat mata ini.
Lain sekali dengan pendapatnya kaum realis yang memandang dunia ini tanpa ilusi. Mereka menggunakan penghayatannya untuk menemukan dunia. Hal ini jelas terlihat dari ucapan salah seorang diantaranya (Courbet), “Show me an angel and I will paint one”. Mereka itu ingin untuk menciptakan hasil seni yang nyata menggambarkan apa-apa yang betul-betul riell dan ada.
Pelopor-pelopor Realisme
GOYA. Francico de Goya (1746-1828) adalah tokoh yang sering dihubungkan baik dengan realisme maupun dengan romantitisime. Lukisan-lukisannya yang sering menunjukkan kengerian, ataupun sesuatu yang fantastis dan imaginatif, disertai dengan gambaran pribadinya yang berapi-api, memberikan identitas bahwa ia adalah seorang romantik. Contoh karya dari jenis ini misalnya “Kelelapan rasio menimbulkan Monster” (1797-98) (dari kumpulan “Caprichose”) dan “Pembunuhan 3 Mei 1808”. Yang pertama membawa kita kedunia fantasi sedang yang kedua, dengan temanya itu ia telah memancing emosi penonton baik karena kejadian yang mengerikan itu maupun caranya ia melukiskan kejadian tersebut. Dipilihnya saat yang sebaik-baiknya untuk dilukiskan, demikian pula tokoh-tokoh serta penempatannya didalam gambar diusahakan yang sedramatis mungkin.
Namun Goya adalah seorang realis. Ia memandang dunia ini tanpa ilusi. Ia tidak lari dari kenyataan, karyanya adalah refleksi dari keadaan yang ada disekitarnya. Sebagai pelukis istana ia berada diantara orang-orang yang hidupnya mewah, korupsi namun dungu dan tak acuh akan kepalarutan yang ada diluarnya (lihat lukisannya”Keluarga Charles IV”). Dikali lain ia menghayati peperangan dan kekejaman dari rejim Napoleon dan ditumpahkannya pengalamannya itu pada karya-karya nyata, selain “Pembunuhan 3 Mei 1808” yang tersebut diatas juga sederet karya grafiknya (“Kehancuran Perang”) yang antara lain berjudul “Tidak ada lagi obatnya” (1818-1820).
Goya terkenal sebagai pelukis portrait. Likisan-likisan potretnya sangat mengagumkan kelembutannya. Menonjol diantaranya ialah potret Isterinya “Josefa Bayeu” atau “Madame Goya” (c. 1798) dan “Markuase de La Solane” (1791-95). Expresinya bagus, demikian pula brush-strokonya. Namun lebih terkenal dari semuanya itu adalah sepasang likisannya “Maya” (bertelanjang dan berpakaian, c. 1797-98) yang selalu tertambat pada nama Goya. Banyak sensasi dibuat orang untuk menerangkan kedua lukisan yang indah itu yang umumnya dihibung-hubungkan dengan temannya, Putri Alba, yang kebenarannya amat disangsikan.
Pada tingkat kedewasaannya dari lukisannya, Goya tidak menyukai lagi karya-karyanya yang terdahulu yang dirasanya terlalu ringan dan hanya menonjolkan warna-warna yang dekoratif saja. Dan sebagaimana Delacroix, iapun tidak menyukai penggunaan warna sekedar sebagai pemberi tone pada drawaingnya. Katanya :
“Always lines, never bodies! Where does one see lines in nature? I see only fairs, forms that are far, projections, and hollows. I see no liner or details, I don’t count each hair on the head of a passerby, on the buttons on his coat. There is no reason why my brush chould see more than I do”.
DAUMIER. Realisme Monore Daumer (1808-1879) dicurahkan lewat karya-karya karikaturnya. Dengan teknik litografi dibuatlah tidak kuang dari 4000 karya karikatur baik untuk koran maupun untuk dirinya sendiri. Tekniknya itu ternyata dikuasainya sekali dan dengan itu ia berhasil membeberkan pengamatannya yang tajam terhadap apa yang ada disekitarya. Disorotinya semua segi-segi kehidupan yang ada dikanan-kirinya itu dengan kena sekali, dari dunia orang-orang kecil seperti “Kreta Kelas Tiga”nya (c. 1862) sampai kekalangan yang tertinggi seperti kritikannya yang kena terhadap anggota-anggota legislatif yang opportunistis itu (“Le Ventre Legislatif”, 1834). Dilihatnya pula kekejaman yang di luar batas kemanusiaan oleh alat-alat negara, terlihat dalam “Rue Transnonain” (1834), yang membunuh penduduk dengan tidak pandang bulu.
Karya-karya itu di selesaikan dengan baik sekali, anatominyapun dapat dipertanggung jawabkan sekalipun ia tidak pernah belajar di sesuatu akademi kesenian dan juga tidak pernah menanamkan dirinya seniman. Baginya pekerjaannya itu adalah hasil karya seorang pekerja di persuratkabaran yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia seni. Namun ini telah membuktikan bahwa sekalipun dipakai sebagi alat komunikasi, seninya sebagai seni tidak berkurang, bahwa seni tak harus tidak berguna apa-apa selain untuk kenukmatan saja (Fart pour Fart). Hidunya melarat sampai akhir hayat, dan betapapun ia ingin untuk “menjadi seniman”dengan melukis-lukis, namun karena kemelaratannya itu tidak banyak ia mendapat ksempatan.
Diantara karya lukisnya yang tidak banyak itu, terdapatlah “Pengumpul Grafik” dalam mana ia menunjukan suatu fenomena kehidupan, ialah bahwa didalamkeramaian kota itu sesungguhnya setiap orang itu secara pesikologis adalah terpisah. Di dalam lukisan itu digambarkan orang pengumpul karya-karya grafik yang lagi menikmati hasil-hasilidak menghiraukan keramaian “yang mungkin ada” dikanan kirinya. Fenomena ini terlihat lagi dengan jelas dalam “Kereta Kelas Satu”nya (1864) dimana dilukiskan sederet orang-orang yang duduk dengan disibuki oleh pikirannya masing-masing sekalipun mereka itu tubuhnya berdesak-desakan.
Kalu Goya sering di sangsikan kerealisannya karena hubungannya dengan romantisme, maka dengan Daumier kita pasti bahwa ia adalah seorang realis tulen, sekalipun ia tidak pernah memproklamirkannya.
Proklamasi Realisme
Gustave Courbet (1819-1877) adalah orang yang menamakan dirinya seorang realis. Dengan pongahnya ia mengatakan: “Show me an angel and I will pains one”, yang mengandung arti bahwa bagiannya lukisan itu pada dasarnya adalah seni yang konkrit, menggembarkan segala sesuatu yang ada dan nyata, dengan perkataan lain, ia mau mendasarkan seninya pada penerapan pancaindranya saja (khususnya mata) dan meninggalkan fantasi dan imaginasinya. Namun kebenaran ucapan ini perlu juga kita sangsikan, karena yang ada itu tentulah ditafsirkannya menurut pengertiannya, ia mesti mengadakan interprestasi dan tentulah seleksi. Kalu dulu orang membuat obyek lukisannya adalh sesuatu yang indah, maka kini pada Courbet terdapat kecendrungan untuk memilihnya yang jelek-jelek.
Sekalipun keluarganya tidak menghargainya untuk menjadi pelukis tetapi pada tahun 1849 terdapat suatu kenyataan bahwa ia berhasil menguntungkan beberapa lukisannya di dalam. Salon dan yang terkenal di antaranya ialah “Habis makan di Ornans” yang memenangkan hadiah medali kedua. Lengan kemenangan ini ia dapat lagi memasukan lukisanya yang menggempurkan dalam tahun berikutnya, ialah “Pemakaman di Ornans” yang sering disebutnya juga “Pemakaman Romantisme” sejalan dengan umpatan Gros atas lukisan Delaeroix “Pemakaman besar-besaran di Seio” itu.
Lukisan yang terakhir ini betul-betul telah menggoncangkan dunia karena kerealisannya. “Everiyting in the palnting-the serios bees of the tewapeople, thier still postures and somber dress, the mist gray of the sky, the erucifix held high by a white-robed acolyte is people. Maka bersama-sama dengan lukisannya yang sebuah lagi yang juga terdapat di dalam Salon 1850 itu, ialah, “ Pemecah Batu”, realismenya yang sering di embel-embeli pula dengan “sesialis”. Sebagai ganti dari seni terdahulu yang termakan klasikan, ideal, atau setidak-tidaknya sesuatu yang di perhalus, ia melukis apa adanya, bahkan yang jelek-jelek, petani-petani, buru kecil, seperti yang terdapat di dalam kedua lukisannya tersebut, yang dulu sama sekali tidak mendapat tempat yang penting baginya ialah, “find in the most compete exspression of an exisiting object, but never imaegining or creating the object”. Hal ini rupanya ada hubungannya dengan pendapatannya bahwa keindahan yang disajikan oleh alam itu sebenarnya adalh lebih indah dari konvensi seniman yang manapun juga.
Pada tahun 1955, karena tidak di terima dalam suatu “Exposition invorollo” yang di selenggarakan di Paris, ia mendirikan sendiri sebuah pevilaan di dekat world Fair tersebut yang di berikan pada nama:
Karya dari Franscisco de goya
REALISME PAMERAN DAN PENJUALAN
Di dalam paviliyun itulah dipamerkan karya-karyanya yang ditolak yuri, diantaranya ialah sebuah lukisannya yang terkenal sekali “Studio Pelukis” yang judulnya sering dilengkapi dengan “A Real Allegory, Sumarizing A Seren-sear Phaso of my Artistik Life”. Sesuai dengan judulnya, lukisan ini besar sekali kurang lebih 3 x 6 m, dan merupakan karyanya yang gilang-gemilang. Delacroix mengomentari dengan “..........one of the most extreordinary worxs of our time”.
Lepas dari baik buruk dari pada pamerannya di paviliyan itu, tindakannya tersebut merupakan sesuatu yang cukup rebellious, ia tidak puas dengan keputusannya yury yang rupannya terdiri dari kaum akademisi. Beberapa tahun lagi, ketidak puasan dari pada seniman terhadap putusan yuri ini akan menjadi perhatian pemerintah.
PELUKIS-PELUKIS PEMANDANGAN
Sampai dengan awal abad ke XIX boleh dikatakn hampir tidak ada lukisan pemandangan yang mempunyai obyek tertentu, maksudnya yang bisa dikenal di mana tempat yang digambarnya. Umumnya lukisan-lukisan tersebut adalah hasil dari konstruksi atau susunan unsur-unsur yang baik yang di ambil dari alam oleh si pelukis. Oleh karena tu seni pemandangan sering di sebut sebagai “the art of composin sites after choosing the post beatiful and the most noble element offerd by nature”. Sebagai contoh dari lukisan yang konstruktif ini dapat misalnya kita ambil “Pemakaman Phochion” (1648) karya Poussin.
Namun kemudian datanglah saatnya para seniman menyandang easel-nya keluar, pergi ke hutan, ke ladang, untuk melukis tempat-tempat tersebut on the spot, yang nanti populer pada masa Impessionisme. Dengan diprodusifnya cat-cat inyak di dalam tube pada sekiar tahun 1840 maka hal itutidak sukar dilaksanakan.
Dua Pelukis Inggris
Inggris mempunyai tradisi seni lukis pemandangan yang baik. Dalam tahun-ahun yang terdahulu dapat kita lihat misalnya karya-karya Tomas Gainsborough (1727-1788) yang perlakuannya terhadap alam yang khas dan menarik ternyata telah memberi adil buat expresi romantis. Kalu dibanding dengan karya-karya Poussin yang klasik-kostruktif itu maka kelihatanlah bahwa lukisan Gainsborough adalah lebih ritmis. Detailna lebih tidak fotografis (terutama kalu kita bandingkan dengan lukisan pemandangan dari Nederland) dan ada sifat-sifat romantis yang tersimpan di dalamnya. Lukisan pemandangan Inggris biasanya mempunyai ciri khas intim, lemah lembut dan tanggapannya kepada alam terasa langsung, mengenakan dan tidak bersifat anelitis.
JOHN CONSTABLE (1776-1837). MYERS.mengatakan bahwa Constable adalah “the first naturalitic landacape painter of the nineteenth century” karena ia adalah orang pertama yang menemukan atsmofer dalam lukisan-lukisannya sebagai elmen yang menarik (6). Panas matahari seolah-olah dapat kita rasakan kalu kita lihat pemandangannya, dan demikian jugalah suasana yang lain, sehingga ada mulut usil yang mengatakan sebaiknya kita berjuang kalu memasuki exsposisi Constable. Hal ini dapat kita saksikan misalnya pada karyanya “salisbury Cathedral” fdimana saat di lukiskannya seperti dapat kita rasakan, di sini teduh, disana ada cahaya, katedralnya betrmandikan sinar matahari sehingga silau kita memandangnya.
Sekalipun lukisan-lukisannya itu dikerjakan berhari-hari, namun ia selalu bisa menjaga sifat-sifat kesegaran dan spontanitasnya. (Lihatlah “Stoko-by-Neyland” 1836). Lukisan-lukisan itu umumnya di besarkan dari sketsa on the spot dalam mana ia tidak banyak mencabut bentuk dan warnanya saja, tetapiu juga kesannya juga terhadap obyeknya. Mengherankan bahwa pekerjaan timbal itu ternyata tetap menunjukan spontanitas yang cukup seperti kalu ia kerjakan langsung di tematnya. Di dalam hal penyelesaian ia seakan-akan mengerjakan kanfasnya sekaligus, tidak bagian demi bagian diselesikan melainkan setiap demi setiap dari lukisannya itu dilaksanakan diseluruh kanzasnya.
Kalu kita melihat tulisan-tulisan Constable maka kita tidak pernah bosan dibuatnya karena lukisan-lukisan itu (dan demikian juga umumnya pemandangan-pemandangan Inggris) selalu penuh dengan kebaruan tidak sekedar deretan klise-klise yang sering kita ketemukan pada pemandangan-pemandangan Prancis. Awanpun pada lukisan Constable selalu merupakan unsur yang memiliki, secara strukturil maupun exprssif merupakan vocal-point yang kena.
Namun penemuan Constable yang paling menonjol adalah aplikasinya terhadap warna. Kalu kita perhatikan “Stoke-by-Nayland”nya, terlihatlah bahwa ia tidak mendusel warnanya; warna-warna itu dengan spontan di goreskan pada kanvas, meninggalkan bekas-bekas sepuan kuas yang kuat dan jajaran warna-warnanya menjadikan lukisannya nampak lebih cemerlang. Goresan-goresan kuas itu dari kejauhan seolah-olah bercampur dan membentuk pewujudan yang dikehendaki. Hal-hal inilah yang sangat di kagumi oleh Delacroix pada waktu ia sempat melihat salah satu dari lukisannya, ialah “The Hay Wain” (1821). Menang yang di sampaikan oleh Constable itu jatuhnya tidak pada generasinya, melainkan pada generasi berikutnya, kepada Delacroix, kepada pelukis-pelukis dari kelompok Barbison dan lebih-lebih lagi kepada kaum Impressinya yang amat tertarik oleh warna-warna yang bersih, terpotong-potong dan efek yang temporair.
TURNER (Josep Mallard William Tuner, 1775-1851). Adalah sukar untuk menempatkan Tuner diantara mazab-mazab, yang ada, tetapi terang ia adalah pewarisan yang baik dari apa-apa yang ada tetapi yang yang trerang adalah pewaris yang baik dari apa-apa yang ada sebelumnya. Kedua tradisi melukis pemandangan yang ada di Eropa ada padanya, baik yang keklasikan ala Claude dan Poussin maupun yang koromantisan rintisan sumbang dan kaum pelukis pemandangan Belanda. Namun Tuner tidak berhenti di situ ia melangkah lebih lanjut untuk mendapatkan ke-Turner-annya. Ia tertarik pada realitas visil, namun bukan yang biasa melainkan yang sudah diterjemahkan lewat kecamatannya sendiri, berupa gambaran atmqafaris yang kuat ekspresif. Dalam lukisan pemandangannya yang romantis itu Tunner membatasi diri pada pelukisnya air, udara, uap, api, dan sebaginya sehingga lukisannya tinggal merupakan abstraksi dari obyeknya. Ia ingin untuk menciptakan seni baru dimana kekuatan-kekuatan seperti hujan, kabut ataupun gerak itu disimpulkan tanpa bentuk,dan hasilnya, walaupun dalam hal pemakaian warna banyak persesuainnya dengan kaum impressionis namun kesan keseluruhanny adalah expressionistis.
Sifat-sifat seperti di atas dapat kita saksikan terutama dalam lukisan-lukisannya yang terakhir.’pada “Buming of the House of Parliament” (c,1835) dan “The Siave Ship” (1840) masih kita ketemukanperwujudan obyek yang samar-samar diselimuti oleh api taupan kabut,tetapi pada “seteamer in a Anowstorm” (1842), seteamernya sudah tidak nampak sama sekali, yang ada tinggallah snowstorm-nya yang berpusing-pusing dengan sapuan kuasnya yang lebih “drunken broom” dari pada apa yang dilakukan oleh Delacroix yang terdahulu di sebutkan, dan lukisannya itu menjadi betul-betul abstrak.
Kelompok Barbizon.
Barbizon adalah nama desa di dekat hutan Fontaineblegu yang tidak jauh letaknya dari paris, dimana banyak berkumpul para prlukis yang mencari alam yang lari dari paris. Di sebelah-menyebelahnya terdapatlah ladang yang luas, petani-petani yang bekerja dan rumah-rumah mereka, yang menarik para pelukis tersebut untuk di lukisnya. Hal yang sedemikian itu bukan apa-apa buat kita sekarang,tetapi pada waktu itu adalah betui-betul mwrupakan sesuatu yang baru.
Nama “Kelompok Barbison” ini sebenarnya tidak berarti apa-apa kecuali sekedar menunjukan hubungannya dengan tempat tersebut. Yang termasuk didalamnya tidak diikat persamaan ideologi, stylo, atau apapun juga, kecuali keinginan yang sama untuk melukis alam di tempatnya. Memang mereka itu sering dimasukan kedalam satu kotak, ialah kaum romantik-realis (7). Sdemikian juga di katakan oleh Myers bahwa sikap diri merasa kecil dalam alam ini adalah suatu gejala romantik (8). Namun individu-indiviu mereka banyak juga bicara dan biarlah mereka itu dinamakan begitu hanya karena ada sangkut-pautnya dengan Barbison saja, ada yang terikat erot seperti Theodore Rousseau (1812-1867) dan Charles-Francois Daubignya (1817-1878), dan ada setengah-setengah seperti Jean-Francois Millet (1814-1875), dan Jean-B-ptiste Camille Corot (1796-1875).
Mereka itu dalam tahun-tahun 1830-1840an bekerja dengan giat dan dengan gigihnya pula menentang akademi (Sekalipun sekedar “Gentle-rebel” saja menurut istilah Newmeyer). Dengan kemelaratannya mereka pergi ke Barbizon, dan dengan melewati tahun-tahun yang suram, akhirnya mereka kembali ke Salon, bahkan ada yang berhiaskan dengan medali-medali. Sesudah tahun-tahun 1850an mereka itu adalah pelukis-pelukis yang terkenal dan banyak laku. Sekalipun setelah jaman berganti (dimana seni semacam itu disisihkan oleh seni baru, ialah seni abad ke XX) mereka itu betul-betul di lupakan orang, namun mereka adalah peletak batu loncatan juga menuju arah terwujudnya Impresionisme yang sampai sekarang masih populer itu. Begitulah menurut Canaday, mereka itu bernasib sial karena kepepeloporannya tidak di hargai orang.
Mikllet
Meskipun Millet cukup lama tinggal di Barbizon, namun agak sukar baginya untuk di golongkan untuk mencari alam. Dari kecil, sebagai anak petani, bahwa ladang dan orang-orangnya yang sedang bekerja adalah tidak asing baginya. Karena itulah maka lukisan-lukisan dengan teman-teman sekitar kehidupan petani-petani tersebut adalah pekat sekali, penuh di jiwai oleh pengalamannya. Ia tahu dan merasakan apa-apa yang dilukiskannya.
Millat adalah orang yang cerdas, tetapi pendidikannya tidak tinggi. Namun ia punya mata dan punya hati untuk mengisi knfasnya. Dengan mata dan hatinya ia cerap keadaan di sekitarnya dan hasil pencerapannya ia tumpahkan di dalam seninya. Tokoh-tokoh dalam lukisannya bernada simbolis anonom dengan wajahnya yang kegelapan. Yang ia pentingkan adalah kekuatan dan kekerasannya; para petani itu digambarkan dengan tubuh yang kuat, jelas merupakan bagian dari alam di sekitarnya. Begitulah maka lukisannya sering terasa begitu realistis, sekalipun keromantisannya juga nampak jelas.
Karyanya “Jalannya menyibak ladang gandum” menunjukan cara-cara impressionistis terutama pada goresan pucuk-pucuk gandum dan sinar mataharinya yang cerah.
Millet tiba di Paris pada tahun 1837 untuk meneruskan pelajarannya melukis. Karena ia tidak berasal dari keluarga berada, dihidupinya dirinya dengan kopy kopy lukisan terlanjang yang sedang populer pada waktu itu dan juga ada adegan-adegan dari kitab injil. Sepuluh tahun kemudian (1847) salah sebuah karyanya masik ke Salon, ialah “Odipus”, dan tahun berikutnya, “Tukang Tampi” menyusul. Dengan kemenangannya inilah ia memberanikan diri untuk berangkat dengan keluarganya ke Barbizon bergabung dengan pelukis-pelukis sebangsanya. Pada waktu itu orang-orang Paris baru belajar menyukai Corot, karena meskipun iapun melukis dari alam tetapi brush-worknya lunak dan segar dan ia tidak melukiskan petani-petani yang kotor dan berkeringat itu. Namun Millet melakukannya tidak dengan Corot, dilukisannya mereka itu apa adanya, dalam hubungannya dengan apa adanya (periksa “Penabur Beni” 1850, dan “Pemungut Ceceran” 1857). Maka tidaklah mengherankan apabila “orang Paris” Louis Napoleon mengatakan, “This is the painting of domocrata, of thoese who dont change ther linen, who want-to pass themselves of as men of the world, this art displeases and disguats me” orang-orang Paris tidak suka pada ketelanjangan alam, tanpa hiasan, tanpa perbaikan.
Orang-orang Amerika yang lebih “uncivilized” itu ternyata tertarik oleh lukisan-lukisan Millet dan sekali dua membelinya (sampai sekarang lukisan-lukisan Millet terbaik ada di sana). Hal ini sedikit banyak membesarkan hati Millat dan membantu keuangannya. Corotpun yang pada waktu itu sudah “binnen” kadang-kadang membeli lukisan Millet, sekedar untu menopang temannya ini. Demikianlah sampai tahun 1867, dalam Paris Exposition Millet mulai memanjatkan namanya, dan beberapa tahun lagi dari sisa hidupnya itu bisa ia lampaui dengan mudahnya.
Corot
Corot sebenarnya tidak tinggal di Barbizon (melainkan d iVilled Avray) tetapi dugolongkan ke dalam kelompok Barbizon karena ia sama-sama melukis keluar, lukisannya ada afinitas tertentu dengan karya pelukis-pelukis Barbizon dan iapun mempunyai hubungan yang intim dengan mereka terutama dengan bantuan-bantuan finansiilnya. Sama dengan Millet (dan masih bannyak pelukis-pelukis yang lain) iapun mulai tidak disetujui oleh keluarganya untuk memasuki dunia seni, tetapi begitu ayahnya mengetahui bahwa ia berbakat (dari penerimaannya di Salon) sang ayah segerah membantunya bertahun-tahun termasuk wanderjahre-nya ke Italiah sampai ia mencapai ketenangannya.
Corot sering di sebut sebagai penghubung antara tradisi dengan pebaharuan. Ia memperhatikan konstruksi dari lukisannya tetapi kalau Paussin mengkostruirnya dengan jalan-jalan composing sites after choosing the fost beatiful and the most noble elements offered by nature” nama Carot mengambil seluruhnya dari suatu tempat. (yang konstruksinya dapat di pertanggungjawabkan) dan dengan sedikit “kebijaksanaan” di sana-sini terjadilah lukisan yang formal ala Paussin (lihat “pemandangan di Narni’ 1826-1827 serta “Jembatan dan Kastil St. Angela dengan kuba St. Peter 1826-1827). Dalam memilih site ini corot memang kopeten, hasilnya dapat kita lihat dengan membandingkan dua lukisan yang obyeknya sama ialah “Pemandangan di Venesia” yang dilukisnya dan sebuah lagi oleh Meissonier.
Ikatannya dengan tradisi dan seni yang akan datang terlihat pula dalam potret-potretnya (ia terkenal juga sebagai pelukis potret). Dengan potretnya “Wanita bermutiara” (1868-70) yang perasaannya dengan “Nonalisa”nya Leonardo bukanlah sekedar kebetulan saja, menyatakan bahwa ia kenal akan seni klasik itu, bukannya sebagai penjiplak, melainkan sebagai orang yang tahu hakekatnya dan bisa berbuat yang serupa. Kedalaman visinya ini dapat juga disaksikan kedalam beberapa persamaan idenya dengan ide pelukis modern seperti Picasso. Memang, sejarah menunjukan kepada kita bahwa didalam lukisan yang tradisional, nilai-nilai abstrak harus kita cari di balik bentuk-bentuk yang representatif, emosionil ataupun evokatif itu, sedangkan sebaliknya, di dalam seni modern nilai-nilai emosionil ataupun filosofis itu dapat diungkapkan melalui bentuk-bentuk yang abstrak (9).
Lukisan-lukisan pemandangannya yang dibuatnya belakangan menunjukkan kelembutan yang mengena, dengan goresan dedaunan yang lincah dan penuh dengan virtuositas (lihatlah “Souvenir de Montofontaino” 1864, dan “Dua orang di dalam Biduk”). Canaday berkali-kali menyanjungnya “Cobot is a formal pointer as well as an artist of tender sensibility” dan “His art in more robust and more profound. It is an art of solidity, of moty, of dignity,of contomplation, of serenity. It is an art where reverence for simplicity is combined with mastery of civilited nuance.
ART DENGAN SALON DAN REFUSES
Pada sekitar pertengahan abad XIX, makin banyak jumlah seniman-seniman muda di Paris yang memisahkan diri dari kepemimpinan dan “membuang-buang waktu” berkumpul di restoran-restoran atau cafe-cafe ataupun pada studio-studio mereka untuk membahas seni (membicarakannya tidak menciptakannya, menurut umpatan kaum akademis). Namun mereka tidaklah sekedar bicara, mereka bicara sambil bekerja membentuk seni barunya. Barang yang baru itu perlu diperdebatkan untuk mendapatkan bentuknya yang sempurna. Maka bertemulah pelukis-pelukis, penulis-penulis dan kritikus-kritikus muda seperti Courbet, Ceutier, Baudelaire dan pelukis-pelukis seniman yang nantinya tergolong dalam kelompok impressionisme, ditempat-tempat tertentu, sdan bersamaan dengan itu populer pulalah istilah Bohermisme dengan pusat-pusat kegiatannya disebelah kiri suangi Sains dan dikomplek Latin.
Dalam keadaan seperti itu ternyata yuri-yuri Salon bahkan justru memperkelas seleksinya yang akademis itu. Dalam Salon 1863, dimana amat banyak yang ingin memanjakan namanya sebagai pelukis, para yuri telah melacak lebih dari 4000 lukisan dengan semena-mena. Maka terpaksalah Napola III turun tangan ikut menyelesaikannya. Sebagai pembeli lukisan ia mempunyai ciri-ciri yang sama dengan para yuri, sekawan ia melihat suatu bahaya apa biala tidak diadakan tindakan yang sepi untuk menanggulangi kemarahan sekian banyak pelukis yang ditolak itu suatu negara di mana seni merupakan sebagian dari kehidupan nasional satu Pewrancis ini.
Diperintahkan oleh Napoleon III untuk memberi kesempatan kepada karya-karya yang ditolak tersebut, di pertontonkan pada suatu Salon lain kemudian terkenal dengan nama “Salon dan Refuses”, salon bagi karya-karya yang ditolak. Tentu saja kesempatan ini merupakan suatu kebanggaan golongan pelukis rebellious yang menganggap lukisannya m,emang lain lukisan akademis dan memang tidak selayaknya berada di dalam Salon yang sama. Namun buat segolongan yang lain yang masih berada di dalam bayang-bayang kaum akademis dan ingin melukis seperti mereka (tetapi karena kekurangannya belum bisa di capainya), kesempatan tersebut adalah suatu penghinaan, suatu bertanda bahwa mereka “belum bisa” masuk ke salon resmi apabila mereka mengikutinya. Maka golongan yang terakhir ini segera menarik diri dari Salon dan Refuses pada waktu diberikan kesempatan untuk itu dalam 2 minggu sekiranya tidak bersedia lukisannya dipertonton secara itu.
Salon dan Refuses merupakan sekandal besar bagi si kaum borjuis, namun buat pertumbuhan seni moderen ia adalah suatu titik terang yang merupakan “the sharpest dividing line in the history of painting since the french Revolution” (10). Karena salon des refuses ini telah mengalasi keadaan yang sekarang dimana seorang pelukis berhak untuk melukis sesuai dengan panggilan jiwanya masing-masing dan di nilai karyanya secara tersendi pula, tidak seperti dahulu, disaat mana tata cara melukis sesudah tertentu dan keluar dari itu berarti tidak dapat di pamerkan dengan nama lukisa sejak itu orang tidak perlu khawatir lagi, kalau jenis lukisannya adalah akademis, dimasukan Salon resmi, sedang apabila tergolong penentang akademis, di masukan saja ke Salon karya-karya yang “tertolak” tersebut.
Manet
Dalam kancah “Salon des Refuses” itulah muncul pribadi Edouard Manet (1832-1883) dengan lukisannya yang cukup revolusioner ialah Se Dejouner sur l Herbe” (“Makan di rerumputan” 1863). Sebetulnya adalah mutiara di dalam salon tersebut ialah “The woman in White” karya yang Manet secarah syah adalah pelopor Impressionisme (sekalian ia sendiri bukan), maka Manetlah yang lebih mendapat sorotan.
Manet memasuki Counture pada tahun 1850 dalam usia 18 tahun. Seginya Couture adalah guru yang baik, sedikit banyak terlihat juga pongahan gurunya itu pada karya-karyanya. Setelah selesai belajar ia sempat berkelana ke beberapa negara. Dari perjalanannya ke Tanah Rendah ia menemukan Frans Hals hal yang amat menarik bagiannya di Italia ia berjumpa dengan karya Velazquea yang kemudian amat dikaguminya. Perna juga ia ke Spanyol dimana ia bersua dengan karya-karya Goya yang besar sekali pengaruhnya atas lukisannya. Bahkan lukisannya “Balkon” dan “Penembakan Raja Waximilian” adalah versinya atas tema-tema yang serupa oleh Goya (bandingkan dengan karya-karya Goya, maya-maya di Balkon” dan pembunuhan 3 Mei 1808”). Selain itu banyak juga ia melukis tema-tema Spanyol sebagai hasil kunjungannya, misalnya “Torero memberi Salam”, “Lola de Valence” dsb. Lukisan selonnyapun bertema Spanyol “Pemain Guitar Spayol” (1860).
Masih ada lagi pengaruh besar yang menimpah diri Manet ialah pengaruh dari Timur. Tiga tahun setelah Jepang dibukah oleh Perry (1853) datanglah kiriman-kiriman dari Jepang di Paris yangmenggunakan print-print karya Mokusai (seniman grafik terkenal di Jepang) sebagai sebagian dari pembungkusnya. Demikian juga pada tahun 1862 di Paris World Fair ada suatu sudut yang khusus untuk Jepang dimana untuk di pertontonkan porselin dan printing dari Jepang yang masyur itu. Maka berjangkitlah di Paris penyakit Jepang ini dan Manet tidak lupa menjadi salah seorang korbannya hasil pengaruh ini dapat kita lihat pada karya-karyanya “Emile Zola” (1865) dan ‘Wanita dengan Kipas” (1873-74).
“Le Dejeuner” dan inovasinya.
Lukisanya “Le Dejeuner” tersebut ternyata telah “bikin muak bukan karena ia melukiskan orang-orang berkeringat ala Courbet, tetapi karena tema yang dilukiskannya adalah suatu skandal. Sekelompok orang-orang yang jelas dari pakaiannya dapat di kenal sebagai orang-orang Paris padsa waktu itu, namun berada dalam keadaan yang tidak layak. Dua lelaki dan dua wanita, laki-lakinya berpakaian lengkap sedang wanitanya yang satu hampir tidak berpakaian dan yang satu lagi tidak berpakaian sama sekali, nampaknya sedang mengadakan pertemuan asyik masuk di rerumputan sambil makan-makan. Sebenarnya orang-orang Paris sudah bisa kenal akan ketelanjangan seperti terlihat pada banyak venus-venusnya, tapi bukan ketelanjangan dari wanita sejamannya yang mungkin hidup di sekitarnya, apalagi dengan kombinasi yang seperti itu.
Tema lukisan Manet yang seperti itu dapat kita periksa pula pada lukisanyang lain yang di dalam Salon dua tahun kemudian, ialah “Olimpia” (1863, dalam Salon 1865). Lukisan ini temannya bisa saja, realining nude yang sudah lama dikenal yang justru merupakan tema yang populer (bandingkan dengan “Venus Urbino”nya titian..1538 “maya”nya Goya atupun odalis-odalisnya Delacroix). Namun “Olimpia” ini lain sifatnya. Ia mengfgambarkan wanita yang sejaman dengan Manet,(dapat kita lihat dari pita di lehernya dan sandalnya), bukan dewi-dewi di angkasa, dan itupun menunjukan sikap yang lain dari yang lain, begitu anak, dengan tenang memandangi penonton, seolah-olah hal yang seperti itu biasa saja baginya, ditambah lagi dengan kehadiran pelayanan, seorang Negro yang datang menyampaikan boket yang rupanya dari seorang pemujanya. Maka di kutuklah lukisan itu habis-hanbisan sebagai lukisan yang amoral, sekalipun dalam waktu yang sama lukisan Cabanel “Kelahiran Venus” (1863) yang lahiriah lebih “merangsang” sempat dipuja dan di beli oleh kaisar.
Namun Manet lebih tertarik kepada masalah-masalah “how to paint” dari pada “what to paint”. Apa yang di lukisnya tidak lebih dari sekredar “alasan” untuk membuat bentuk-bentuk, tidak secara serius memilihnya apalagi berusaha memperjuangkannya.
Tetapi dalam soal-soal “how to paint” andilnya tidak sedikit dan itulah yang justru yang membuatnya garis pemisa antara kesenian sebelumnya dengan seni modern. Courbet yang begitu gigih memilih tema-temanya yang “realistis” itu, toh masih melukiskan teta tersebut, menurut tatacara yang biasa ada, dengan chiaro scuro yang tradisionil, dengan warna dasar yang tua dan sebagainya.
Karya-karya yang terakhir,
Sekalipun Manet adalah pelopor Impressionisme namun ia sendiri bukan seorang anggotanya dan semula tidak tertarik ataupun tidak ikut berramai-rama melukis keluar. Tetapi sesudah tahun 1874 (tahun eksposisi perekin kearah Impressionisme) ia makin dekat juga dengan mereka, dan lukisannyapun makin kearah tata cara seni lukis Impressionisme ialah “Boating” 1874). Lain sekali dengan “Le Dejuner”nyam, lukisan ini begitu kena, komposisinya infomail sekali dan terasa benar-benar bahwa pelaku-pelaku dengan lukisan itu sungguh-sungguh bermandikan cahaya matahari.
Lukisan yang terakhir (yang berarti) ialah “Ber di Folies Bergees” (1881, ia meninggal dunia 1883). Lukisan ini kembali pada corak impiannya, jenis lukisan indoors, namun menunjukan bahwa pelukjisnya sudah berpengalaman melukis di luar. Istimewa sekali dalam lukisan ini adalah virtuosonya di dalam melukiskan alam benda, botol-botol minuman dan pnggan buah-buahan di latar muka.
Sebagai penutup uraian tentang Manet, Albert Chatelet mengatakan:
“Nevertheless, apart from all innovation, Manet is a pointer in the fullest sence of that word. He expresess his ideas throuht his brushes, by the values of his color harmonies, and through the delicacy of his greys. His themesare really excuses for composing in paint, rather ends in themselves. His works are of thu first rank therefore, not so much because of the prsons they might depict or the stories they migh tell, but because of their intrinsic qualities”. (11)
Buah catatan tentang “realisme” dan “naturalisme”
Kalu istilah-istilah “klasikisme” lebih-lebih “romantisisme” ada istilah-istilah yang amat longgar, amat elastis, maka “realisme” adalah lebih-lebih lagi. Ia biasa di pakai untuk menamai setiap lukisan yang mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Maka untuk membedakan antara “realisme”nya Corbet yang sosialitis itu dengan “realisme”nya Manet yang obyektif, beberapa kritikus di Perancis menamai roalismenya Manat sebagai “naturalisme”. (ingat, kalu bagi Manet tema lukisan itu bukan apa-apa, hanya” ....really excusos for compasing in paint, rathrer than ends in themselves,” jadi subyektif). Di katakan selanjutnya bahwa realisme Courbet adalah bermoral karena memperjuangkan suatu ide, sedang naturalismenya Manet tidak bermoral karena tidak ambil pusing dengan apa yang di lukisnya. Bagi Manet apa saja jadi obyek lukisannya, yang baik, yang jelek, dan ia tidak memberi komentar apa-apa atas obyek-obyek tersebut. Lukisan baginya adalah persoalan bentuk bukan persoalan isi. Maka lahirlah di dalam seni lukis suatu ide “Fart port Fart” seni untuk kepentingan seni, tidak untuk apapun juga. Dan karena kemudian tema itu tidaklah penting, maka ia bisa saja bahkan dihilangkan sama sekali dan lukisan tidak lebih garis dan warna. Demikianlah maka akhirnya hal ini tumbuh menjadi seni abstrak dan dengan begitu tertambah penting arti tahun 1963 tersebut di atas.
Di Indonesia kedua istilah itu secara populer bersama-sama di pakai untuk menamai aliran seni yang berusaha untuk menggambarkan obyeknya seperti keadaan yang sebenarnya (optis).
Secara khusus, kadang-kadang masing-masing dibedakan menjadi realisme, untuk lukisan yang betul-betul apa adanya, sedang naturalisme buat yang memilih yang indah-indah (jadi realime buat yang obyektif dan naturalisme bagi yang subyektif, berlawanan dengan pemakaian di Paris pada masa Manet). Atau, biasa juga realisme untuk karya-karya yang serius, mendalam, ...nyeni sedangkan naturalisme untuk karya-karya yang sekedar perwujudan bentuk luar saja (sering ditambah dengan naturalisme fotografis). Yang terakhir ini khususnya yang terlihat dalam lukisan-lukisan pemaandangan alam “Indonesia Indah” yang touritis itu, seperti misalnya lukisan-lukisan Abdullah dan pelukis-pelukis Belanda seperti Dezcntje, Dake, dan sebangsanya.
dengan
warna IMPRESSIONISME
Kalau kita mendengar istilah “Impressionisme” ini, maka asosiasi kita biasanya selalu kepada “impresif”, ialah jenis lukisan-lukisan yang agak kabur, tidak mendetail, dan seterusnya. Tetapi sebetulnya hal itu barulah merupakan salah satu dari faset-fasetnya saja, dan belum mendapatkan kakekatnya yang paling dalam, maka untuk sampai ke hakekatnya yang paling dalam itu, marilah kita tinjau nama apa saja yang perna akan dipakai untuk menyebut aliran ini, sebab nama-nama itu ada hubungannya dengan sifat-sifatnya, dan istilah impressionisme itu sebenarnya hanyalah secara kebetulan saja diperolehnya. Adapun nama-nama yang pernah di canangkan orang untuk impressionisme ialah “realisme (cahaya)”, atau “modernisme”, “light-painting” dan juga “outdoor-painting”(12).
Dari nama-nama “Light-painting” ataupun “realisme-cahaya” itu dapat kiranya kita ketahui bahwa kaum impressionist adalah pelukis-pelukis cahaya, artinya mereka itu tidak melukiskan bentuk sesuatu benda obyeknya melainkan melukiskan cahaya yang di pantulkan oleh benda tersebut ke mata kita. Maka dari itu kalau misalnya suatu lipatan yang bergenting merah mendapat cahaya yang sama dan merefleksikan cahaya yang sama pula ke mata kita, si pelukis tidak akan berpusing-pusiing untuk melukiskan hubungannya agar diperolehnya bentuk yang tegas dari atap tadi. Ia buat saja dua bidang atap itu sama warna dan seolah-olah satu sama lain tidak berbatas. Begitulah kalu juga mereka itu menggambarkan semak-semak, rerumputan, dan sebagainya.
Di dalam usahanya untuk mendefinisikan aliran ini pernah di usulkan bahwa impressionisme ialah “painting in terms of tone rather than in trams of the object itslef”. Itulah sebabnya maka mereka sering di sebut “realis cahaya”.
Manet, salah seorang anggotanya yang paling murni, pernah mengatakan bahwa alangkah baiknya kalu ia terdahulu terlahir buta dan kemudian dapat melihat dunia ini sehingga dengan demikian ia akan bisa betul-betul melihat obyek-obyek berdasarkan atas cahaya yang di pantulkan saja, sebab ia belum punya gambaran formil dari obyek tersebut (hubungan dengan ungkapan Corbet).
Tempat cahaya adalah di luar, maka kaum impressionist harus banyak melukis di luar (kalu tidak boleh di bilang selalu di luar). Oleh karena itulah maka mereka di sebut “out-door painters” dalam artian yang lain dengan kaum Barbizen. Namun cahaya di luar itupun tidak abadi, setiapo saat berganti. Maka kalau Constable mengatasinya dengan melukiusnya berkali-kali dalam jam-jam yang sama, kaum impressionis memilih jalan menangkapnya dengan cepat, selesai dalam waktu itu juga, sekalipun harus menanggung resiko bahwa lukisannya tidak akan mendetail. Hal inipun tidak menjadi soal karena mereka justru tidak menghendaki detail. Maka hal-hal seperti itu, ialah tanggapan sesaat, menghilangkan detail, menjadi ciri yang khas dari seni lukis impressionisme.
Masih ada beberapa sifat lagi yang bisa ditambahkan sebagai ciri-ciri khas seni lukis impressionisme. Sebagai konsekuensi dari teori cahaya di atas, maka garis (dalam artian yang seperti dimiliki oleh kaum akademis) betul-betul menghilang dalam impressionisme. Garis yang timbul karena ada dua bidang warna yang saling berdekatan tidak ada. Selanjutnya impressionisme juga punya perhitungan dengan warna, bahkan hal ini adalah justru merupakan cirinya yang paling jelas. Lukisan-lukisan impressionisme selalu menerangi setiap sudut musium -warnanya yang cerlang-cemerlang. Sebagai ahli waris Manet yang progresif mereka betul-betul tidak menghendaki under painting yang tua, bahkan tidak menghendaki hadirnya warna-warna hitam ataupun coklat warna-warna yang sering semper surem warna lainnya itu di dalam lukisannya. Dari Titian, Velazqurs, Contable dan Delacroix, kaum impressionis mengembangkan teori warna-warna tersebut dianalisanya, diformulir dan dikembangkan dan ditemukan teknik-teknik baru dalam menggunakan warna yang sesuai dengan hukum-hukum optis, ilmu alam (cahaya) demikian juga ilmu dari urai cat-catnya. Dua warna komplemeter dijabarkan, misalnya merah dengan hijau yang terdiri dari dua warna primer yang lain (kuning dan biru), demikian juga dengan satu warna serng dipeca menjadi dua warna asalnya, misaklnya dari pada menggambarkan bidang hijau, diisinya bidang itu dengan jalinan organisasi kecil-kecil dari biru dan kuning yang apabila dilihat dari kejauhan akan nampak sebagai hijau. Hal yang sedemikian itu betul-betul telah menjadikan lukisan impressionisme mempunyai pewarnai segar-meriah karena itu warna digunakan dengan intensitasnya yang penuh.
Sepuan kuas impressionisme adalah satu tingkat lagi lebih maju dari Delacroix maupun Constable dan Tuner. Kalau dulu Delacroix sempat mendapat julukan “drunken-broom”, entah nama apa lagi yang akan di berikan kepada sapuan kuas kaum impressionis ini. Namun hal itu tidak menjadi soal lagi, karena kini, .....every painter has the right to paint as he pleases Brush-stroke kemudian berkembang menjadi suatu unsur di dalam seni lukis yang patut di perhitungkan, apalagi kalu di ingat bahwa kini sudah timbul penggeseran pengertian di dalam seni lukis, yaitu bahwa ia bukan lagi persoalan isi melainkan menjadi persoalan bentuk. Dan setelah lukisan kehilangan isinya memang terasa adanya usaha untuk mencari gantinya di sektor bentuk, maka dieksploitirlah sepuan kuas, tekture dan sebagainya sebagai unsur formil seni yang dulu tidak dikenal.
Kelahiran impressionisme
Pada tahun 1874 sekelompok pelukis yang terdiri dari 30 orang dari bermacam kaliber mengoganisir sebuah bersama pameran di dalam sebuah studio tua milik seorang fotograf, Nadar. Begitu hetrogennya kelompok ini hingga sukar untuk menamakan dirinya. Maka merteka sebutlah kemudian diri mereka dengan nama yang begitu umum, ialah “Sociate anoyme des artistes peintres, peulpteurs, graveurs, etc”. (Himpunan seniman-seniman pelukis, pematung, grafika, dan sebagainya). Namun nama-nama ini tidak berumur panjang, sebab begitu pameran itu dibuka, begitu mereka mendapatkan namanya yang semula sebuah ejekan terhadap kelompok ini. Soalnya, karena diantar 165 lukisan-lukisan karya-karya Cezanne, Degas, Monet, Morisot, Pissarro, Renoir, Sisley, dan sebagainya ini tersdapatlah lukisan Manet yang dsidalam katalogusnya diberi nama “Impression, Resing Sun”, dan nama inilah yang oleh LoisLeroy, seorang kritikus dari koran “Charivari”, dipakai sebagai nama ejekan dalam artikelnya yang berjudul Exdosis dari impressionist. Namun ternyata bahwa nam itu manis kedengaran dan yang bersangkutan segerah mengubah namanya menjadi “Paintres Impressionites”.
Sekalipun namanya baru lahir pada tahun 1874, namun kelompok itu sudah ada sebelumnya. Mereka itu adalah pengagum-pengagum Monet yang menggapnya sebagai pelopornya. Kelompok ini semula terdiri dari beberapa mahasiswa di Ecole des Deaux-Arts ialah: Claude Monet, Aguste Renoir, Frederic Bozille dan Alfred Sisly, yang dengan setengah-setengah bekerja di bawah asuhan dari Gleyre. Kemudian di perbesar dengan masuknya Edgar Degasa yang sudah agak tua (dan netabene penganut setia dari Ingres) dan disusul pula dengan masuknya rombongan yang bergerombol dalam studio Suisse, ialah Camille Pissarro, Amsand Guillaumin dan Paul Cazanne.
Pelukis-pelukis impressionis ini tidak pernah memproklamirkan sesuai manifasto ataupun mempunyai teori-teori tertentu seperti misalnya Curbet ataupun nantinya Cezanne. Namun ikatannya jelas, persamaan di antara warganya cukup besar, tidak seperti apa yang kita sebut dengan “Kelompok Berbizon” itu. Selama hidupnya kelompok impressionis tercatat mengadakan Exposisi bersama sebanyak delapan kali, yang pertama tahun 1874 itu dan yang terakhir ialah pada tahun 1886. sesudah itu banyak sesudah diantara anggotanya yang tidak lagi dipuasi oleh kaidah-kaidah impressionisme dan mulai mengembangkan teori sendiri-sendiri.
Tokoh-tokoh Impressionisme
Tokoh utama impressionisme bukanlah Manet, melainkan Monet, disusul dengan Renoir dan Pissarro Monet, terutama dengan eksprimen-eksprimen dan ke extreemanya, ialah yang paling sering mendapat sorotan dan memang padanyalah yang jelas dapat kita cari ide-ide impressionis dengan manifestasinya yangpaling resmi. Disamping itu juga tokoh-tokoh yang ikut terkenal seperti Degas dan Toulouse Lautree yang juga dihubung-hubungkan dengan Impressionisme, sekalipun hubungannya tidak begitu terasa.
MONET (1840-1926). Monet berusaha untuk menginterprestasikan tokoh-tokoh di dalam lingkungannya, khususnya di dalam cahaya outoodor. Teori ini telah jelas terlihat dalam karya-karyanya tergolong pertama seperti “Makan di rerumputan” (1865-versi Monet) dan “Wanita-wanita di kebun” (1866). Keadaan seperti ini berarti bahwa Monet bukan bermaksud untuk mengistimewakan tokoh-tokoh manusianya dan menganggap lingkungan tersebut sekedar sebagai latar belakang (misalnya dengan jalan mengaburkan atau melemahkan latar belakang tersebut untuk menjadikan tokohnya nampak menonjol). Sebaliknya, ia memandang semuanya sama saja, atau setidak-tidaknya ia ingin untuk membuat hubungan antara tokoh dan lingkungan itu se “natuurliik” mungkin.
Karya dari Claude Monet
Dalam lukisan-lukisan yang lebih kemudian kita mendapatkan sesuatu hal ia ialah bahwa boleh dikatakan di dalamnya betul-betul tidak ada sense of volume (priksa “Pohon-pohon Spring di tepi Telaga” 1888, dan juga beberapa kolam Tratainya). Di dalam lukisan-lukisan tersebut keinginannya untuk “born blind in order to gain his sight and be able to paint onject without knowing they were” jelas sekali kelihatan. Cahaya menjadi alat pendusel yang meratakan semua substansi yang dilimpahinya. Dengan begitu lukisan menjadi formless, amorf, dan hal ini pun kemudian menjadi ciri khas lukisan Impressionisme.
Dalam tahun 1891 ia membeberkan hasil-hasil eksprimennya yang baru yang ia sebut dengan “instantanaity” (kesesaatan). Ia lukisan beberapa obyek berkali-kali dalam saat-saat yang berbeda untuk mendapatkan memantapkan nama dari padanya. Misalnya ia telah membuat 15 buah lukisan yang menggambarkan tumpukan-tumpukan jerami di sawah, demikian juga kurang lebih 40 buah lukisan Katedral Rouen, pada saat-saat matahari cerah, suram, pagi, siang, sore, ataupun dalam musim-musim yang berbeda. Usaha ini masih diteruskan dengan lukisan-lukisan kolam dengan teratainya yang merupakan tema lukisdan-lukisan yang terakhir. Namun dalam lukisan-lukisan “Kolam dengan Teratai” ini kita menemukan sebuah lagi segi dari lukisan yang terakhir, ialah mungkin menghilangkannya subject matter (karena makin kaburnya bentuk) dan akhirnya menjadikan lukisan itu tinggal lagi seperti suatu lukisan abstrak, tidak jauh bedanya dengan karya-karya Jackson Pollock (1912-1956) yang digelari dengan nama “abstrak ekspresionisme” itu.
Karya Claude Monet
RENOIR (1841-1919). Renoir adalah pelukis yang gemar sekali melukis wanita, meneruskan tradisi Prancis yang menempatkan wanita pada posisi penting dalam seni maupun dalam kehidupan pada umumnya. Dalam hal ini ia tertarik sekali pada karya-karya Francois Boucher (1703-1770) dan sedikit-sedikit pada Antoine Hatteau (1604-1721), ialah pelukis-pelukis Prancis dimasa lampau yang juga bannyak tertarik pada pernyataan wanita sebagai obyek kenikmatan, sebagai mahluk yang memiliki perwujudan yang mengasikkan. Disepanjang lukisan gadis-gadis manis tak pernah apsen baik dalam bentuk berpakaian maupun dalam bertelanjang. Dan kalau impressionisme terkenal sebagai corak lukisdan yang penuh gairah, dengan warna-warnanya yang cemerlang dan melukiskan “...happy boaters flirting with some pretty girls” maka Renoirlah orangnya yang paling getol melukisnya (silakan periksa “Moulin dela Galette”, 1876, “Bertelanjang di Matahari”, c. 1876, “Makan siang pada Pesta Perahu”, 1881 dan “Dansa di Bougival”, 18823).
Renoir bermula dibawah bayang-bayang pelukis-pelukis yang di kaguminya, selain dari yang tersebut di atas juga dari Corbet yang jelas terlihat pada karya “Orang mandi dengan Grifon” (1670). Kemudian ia menemukan impressionisme, lama disibuki oleh kaidah-kaidah impressionisme ini, sampai pada suatu ketika ia menyadari bahwa selama itu ia telah berbuat tak menentu, tidak yakin arah tujuannya dan selagi ia melukis-lukis cahaya itu ternyata ia telah lupa “how to paint maupun how to draw”, dan karena terbiasa bekerja dari alam iapun telah melupakan komposisi lukisannya pula. Maka kembalilah ia kepada tradisi dan pada tahun 1882 ia pergi ke Italia dengan tujuan utama untuk melihat freseo-freseonya Raphael di Vatikan. Ia perteguh disiplinnya untuk belajar lagi untuk menggambar, melukis, dan komposisi. Hasilnya darat kita lihat misalnya pada lukisannya “Dansa di Bougival” dan lebih-lebih lagi “Orang-orang Mandi” yang dikerjakannya dalam waktu yang cukup lama itu (1884-87).
Dalam periode pemasakannya, Renoir mengkombiner nilai-nilai formil tersebut dengan unsur-unsur impressionisme. Kuasnya dibebaskan lagi, warna sebagai penyataan cahaya muncul pula, tapi sekarang tidak lagi mengingkari bentuk yang memantulkannya. Sepintas lalu lukisannya dalam priode ini seakan-akan mengingkari impressionisme, namun kalu diteliti tidak demi kian halnya, hanya warnanya memang lebih kaya dan lebih intensif, bentuknya menjaadi mantap sekalipun konturnya tidak linear. Secara keseluruhan dapatlah dikatakan bahwa “It is impressionism chastoned by tradition, ordered by camtamplation, dignifiad by maturity” (13).
Renoir tidak banyak berteori, bahkan perna ia berkata bahwa, “These days, they try to explain everyting, but it a picture could beexplained it wowldnt be art”. (14) (Hal semacam ini pernah juga dikatakan dalam bentuk lain oleh Picasso yang pada waktu di tanya tentang latar belakang simbolis dari lukisan “Guernica”nya menjawab bahwa bahwa kalau ia ingin mengatakan sesuatu maka ia tidak akan melukis, tetapi lebih baik menulis buku saja).
DEGAS (1834-1917)
“Of all the impressionists he is the most subtle; disguised as the most direct; the most feflective, diaguised as the most noncommittal; the most acute, disguised as the most casual. He is their finest draughtsman and oomposed of any period”. (15)
Dengan adanya satu-satunya yang menyadari bahwa kesesatan dari kaum impressionis itupun dapat pula dipakai untuk menyatakan perwatakan tokoh-tokohnya. Banyak karya-karya potretnya yang menunjukan gejala ini, misalnya “Estella Musson (Mme. Rene De Gas)” (1872-73) dan “Potret seorang Gadis” (1867) dan lebih-lebih lagi pada karya awalnya, “Keluarga Bellelli” (1859). Ia terkenal sebagai seorang pelukis potret yang baik yang sanggup menyatakan segi-segi kehidupan jiwa dari tokoh-tokohnya.
Darawingnya baik dan kuat sekali ( periksa sketsa-sketsa studinya atas Manet dan beberapa sketsanya dilantai latihan balet). Rupanya ia menurut nasehat guru yang dikaguminya (ialah Inggris) yang pernah menasehatinya untuk menggambar/melukis garis sebanyak-banyaknya.
Sekalipun sebagai seorang impressionis ia lebih terkenal sebagai pelukis balet, namun tema-tema lukisannya sebenarnya tersebar di seluruh kota, dari yang ada di studio, di tokoh sampai kepada tokoh-tokoh pelaku di dalam rumah-rumah pelacuran. Demikian juga dijalan-jalan, di tempat-tempat pacuan, di panggung, dan dimana saja di tempat banyak orang berkumpul dan dapat di pelajarinya lewat sketsa-sketsanya yang nantinya dikombinirnya dalam komposisi yang indah dan nampaknya juga cukup sepontan didalam pelaksanaannya.
Sebagai seorang penganut Inggris tentulah ia banyak tertambat pada ide-ide klasik. Karyanya “Foyer de la Danse” (1872) adalah salah satu contoh pengertiannya pada ide-ide tersebut. Namun merasa di sini bahwa imbangan yang di pergunakan bukanlah imbangan yang statis, melainkan apa yang sekarang terkenal dengan nama “occult balace” itu, ialah imbangan yang tidak semata-mata didasarkan atas beratnya volume itu. Ia ternyata menguasai sekali teknik ini dan dengan begitu kita sempat menemukan variasi komposisi yang kaya sekali di dalam lukisan-lukisannya, khususnya pada tema-tema ballerinanya.
MARY CASSATT (1845-1927). Cassat adalah satu di antar pelukis-pelukis impressionis wanita disamping Berthe Morisot dan Eva Gonzales. Berasal dari Pennsylvania, Amerika Serikat, dan sebelum bermukim di Paris ia telah pernah mendapat didikan di sana. Cassat bekerja keras untuk mendapatkan apa yang dicarinya, banyak belajar dari karya-karya Degas (lihatlah lukisannya “Wanita memperbaiki cadarnya”, c. 1890) namun tidak sekedar menjadi bayang-bayang. Coraknya menunjukan kesan-kesan ketepatan yang dikombinasikan dengan informalitas ala impressionisme. Sekalipun ia tidak pernah kawin tetapi “Ibu dan Anak” adalh tema yang banyak diungkapkannya dengan segenap perasaannya.
Selain melukis ia juga berkarya grafik. Karyanya “Wanita dengan Surut” (1891) yang dikerjakan dengan teknik aquntint, menunjukannya pengertiannya yang mendalam akan adanya hubungan antara teknik dan ciptaan, bahwa setiap teknik memiliki keleluasan dan keterbatasannya sendiri-sendiri. Terasa pula disitu pengaruh perinting dari Jepang yang memang sedang dalam mode.
HENRY DE TOULOUSE-LAUTREC (1864-1901). Karena menarik riwayat hidupnya sering ditulis dan diceritakan, tentu dirinya yang merupakan keturunan bangsawan yang besar itu, tentang hidupnya, maupun model-model kesayangannya: Louise Weber (La Goule) dan seorang lagi, seorang wanita tanpa nama yang menamakan dirinya Jane Avril. Begitu pula pusat sumber inspirasinya ialah dance-hall dan cabaret Moulin Roge, suatu tempat pertemuan bagi para intelektuasi, performer, petualangan dan last but not least, kaum behemia.
Karena kegetiran hidupnya yang terutama disebabkan oleh cacat fisiknya, maka ia melukiskan aspek-aspek hidup menurut caranya sendiri yang sering-sering terasa jorok. Disatu ketika ia menggabungkan warna-warna rata ketimuran dengan garis-garis hitam yang tegas dan ekspresif (banyak kita jumpai pada poster-posternya) dan dilain ketika ia melukis obyek-obyek kabaretnya secara impressionistis atau Degastis dengan sepuan kuas yang lincah. Seperti Degas (dan juga kemudian Renoir, dll) ia meninggalkan segigas itu. Keekspresifan adalah juga menjadi ciri dari lukisannya dan dengan itu ia melukiskan karikatur-karikatur yang kejam dan saat-saat yang sensitif. Seperti halnya dengan Goya, ia bisa memasuki suatu lingkungan (kehidupan malam dan low-life ini), dan diterimanya, namun tanpa mengorbankan pribadinya. Ia masih bisa melukiskan lingkungan tersebut sebagai prang luar dengan segala daya kritisnya.
Karya-karya banyak dilaksanakan dengan pastel, poster-color dan juga cat miyak. Banyak juga ia bekerja dengan litografi. Dalam hal yang terakhir ini ia adalah bilangan pelopor, terutama dalam tata warna. Dengan itu ia banyak menggarap poster-posternya yang sebagaimana Daumire, sekali lagi ia membuktikan bahwa seni tidak harus fine-art.
Lukisan-lukisan antara lain, “Monsieur Boileau au Cafe” (tahun 1893), “Au Moulin Rouge” (1892) dan “Salon di Rue des Moline” (1894), sedang salah satu contoh posternya ialah “La Goulue di Moulin Rouge” (1891).
L U S T I N T R A S S I O N I S M E
PAUL CEZAIRE – GEURGES SEURNA – VAN GOGH – PAUL GAUGUIN
Beberapa tahun berselang dari eksposisi tahun 1874 yang terkenal itu, ialah pada tahun-tahun disaat Impressionisme belum mendapatkan popularitasnya, Impressionisme sudah pula mengalami tentangan-tentangan dari seniman-seniman yang tidak pula dengan sekedar peryataan realitas (oahaya) saja. Dengan Impressionisme nampaknya jumlah kembali dua pengertian yang berbeda yaitu keindahan alam dan keindahan seni. Dalam lukisan-lukisannya kaum Impressionist oada umumnya membiarkanbegitu saja keindahan alam sebagaimana adanya.
Bagi orang-orang seperti Cezanne, Seurat, Van Gogh dan Gaugin tidaklah cukup mengisi seninya dengan hannya “passive recording” ini saja dan tercerminlah jalan-jalan sendiri untuk pengisian yang lebih berarti. Kembalilah mereka mengenal perbedaan antara keindahan alam dengan keindahan seni dan untuk itu mereka tidak cukup dengan mengambil saja yang ada dialam, melainkan harus mengubahnya menjadi bentuk seni. Kebeneran alamiah tidak sama dengan kebeneran seni. Maka Conzan bersandar pada teori-teori seni dimasa lampau mereka menemukan bahasa plastis yang sesuai dengan idenya dan yang ternyata kemudian merupakan pembukaan pintu kearah seni abad keduapuluh ini. Disatu pihak Cezanne dan Securat membentuk kearah seni bentuk yang kuat, sedang dipihak lain Van Gogh dan Gauguin mengetukakan ekspresi dan emosinya yang menyala-nyala.
Jelaslah bahwa istilah post-impressionisme ini tidak berarti apa-apa kecuali untuk menamai karya-karya sekelompok pelukis yang sama-sama berangkat dari impressionisme dan dari petanya mencari jalan sendiri-sendiri yang berbeda-beda.
PAUL CFAANKE (1839-1906). Cozanne dilahirkan di Aixen-Provence dan dalam tahun 1906 meninggal disana pula. Sekalipun ayahnya tidak mengharapkannya pada tahun 1861 ia pergi ke Paris dan belajar melukis disana, mengaji pelukis-pelukis Old Masters di Laurre. Kemudian mempelajari teknik kaum impressionis dari Camille Pissarro. Namun karena tidak mendapatkan kepuasan dan merasa tidak cocok dengan Paris dan teman-temannya, maka pada tahun 1879 ia memutuskan untuk kembali pulang dan melukiskan sisa hidupnya dengan menyadari di semenjak itu ia tekun dengan eksperimen-eksperimenya tanpa banyak “gangguan dari teman-temannya. Ia berangkat dengan casel dan perlengkapan lainnya mencari obyek lukisan-lukisannya dan bekerja disana sampai petang.
Herberet Read memandang Cezanne sebagai perintis seni moderen karena ia “.................soo the world objectivily”. Ia ingin memandang dunia sebagai obyek apa adanya intervensi pikiran maupun emosi. Oleh karena itu ia menjadi tidak sepaham dengan kaum impressionist karena yang terakhir ini memandang dunia secara subyektif, menurut apa yang diterima oleh matanya karena sinar yang memantul dari padanya. Untuk gereja Rouon diperlukan banyak lukisan untuk menangkapnya dalam waktu-waktu yang berbeda, menemukan sifat-sifatnya yang khas dan abadi dibalik perwujudannya yang berubah-ubah itu. Dengan demikian lukisan Cezonne menjadi tidak berwaktu.
Kiranya dua buah kalimatCezanne sendiri akan lebih bisa menjelaskan pendapat-pendapatnya didalam seni lukis. Dua kalimat itu ialah, “I want to do Poussin over again, after nature “ dan “I wan to make of impressionism some thing solid and durable like the art of muscurns”. Kalau Paussin membuat konstruksi yang kuat didalam lukisan-lukisannya dijalan “...........compasing sites after choosing the most becautiful and the most noble elements offered by nature” (of. Ante) maka Cezanne membuatnya after nature, berdasarkan alam, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali membuat macam-macam “perbaikan” (do formasi tentunya) terhadap alam. Namun ini berarti bahwa ia sekaligus bertindak antificial dan natural, suatu yang mudah dikatakan tetapi amat susah dilakukan. Cezanne sendiri merasa belum pernah dapat merealisirnya, sekalipun ia percaya bahwa hal itu tentu dapat terjadi.
Oleh karena itu tidak mengherankan kalau Cezanne tidak bisa memuasi impressionisme yang amorf itu dan karena itu pula ia ingin mengubahnya menjadi something solid and durable. Inilah kata-katanya yang lain : “I take color and nuance and they become objects without my trying...” pernyataan obyek-obyeknya diserahkannya kepada warna-warna dengan segala nuansanya, “Nature is not only surface, but depth.”, ia berusaha untuk mendalami obyeknya, tidak sekedar berhenti pada permukaannya saja, dan “...colors are expression of depth on the surface,” warna adalah ekspresi atau pernyataan kedalam yang bisa dilihat melewati permukaan. “I do not want to reproduce nature, I want to recreate it,” yang mengandung maksud bahwa ia tidak ingin diciptakannya kembali, dengan kata lain, ia ingin memperbaikinya, mengubahnya, sesuai dengan keinginannya untuk memperoleh bentuk-bentuk yang kuat diatas.
Ia memperhatikan sekali efek pada kesan jarak, bahkan ia ingin untuk melukiskan jarak ini hanya dengan kekuatan warna saja. Selain itu kekuatan warna dimanfaatkannya untuk membentuk. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa buah apel yang sering ia lukiskan itu, permukaannya dibagi-baginya menjadi afaset-faset kecil yang berlainan warna, sehingga dengan demikian bentuknya terasa menjadi kuat. Pemakaian warna secara Cezanne ini amat berpengaruh dalam seni modern sesudahnya.
Didalam hal bentuk Cezanne berpendapat bahwa geometri adalah basis dari segala bentuk dan bahwa bentuk-bentuk alam ini dapat dikembalikan kepada bentuk-bentuk geometri seperti silinder, kubus dan kerucut. Ia memperaktekan deformasi baik untuk tujuan ini maupun untuk memperoleh struktur yang kuat didalam lukisan-lukisannya yang dasarnya adalah geometri pula. Didalam hal yang terakhir ini ia berpendapat bahwa bentuk-bentuk didalam lukisannya harus diletakan sedemikian rupa sehingga sisi-sisinya menuju kearah satu pusat (lihat lukisannya “Pemain Kartu” 1890-92).
Contoh karya Cezanne dalam masa impressionisnya (1872-1877) yang jelas ialah “Rumah orang Hukuman” (1873-74) yang dilukisnya bersama-sama dengan Pissaro. Nyata benar bendanya dengan lukisannya lebih kurang 10 tahun kemudian, misalnya “L Estaque dan Teluk Marseilles” (1882-85) ataupun lukisannya “Pemandangan dari Gardanne” (1885-86), yang jelas memperlihatkan dinding atau rumah, melainkan melukiskan bidang dan volume. Dengan demikian obyeknya berfungsi tidak lain sebagai “motif” saja.
Dalam karya-karyanya yang lebih belakangan lagi nilai-nilai abstraknya ini lebih terasa. Bandingkan misalnya, “Mont Seinte-Victoire” (1885-87) dengan “Mont Sainte-Victoire dari Les Lauves” (e. 1904). Akhirnya, menjelang detik-detik terakhir dari hidupnya dilukisnya “The Great Bathers”nya (1896-1905) yang monumental dan mengasyikan itu.
GEORRGES SEURAT (1859-1891). Sementara Renoir berjuang dengan “Bathers”nya menghadapi impressionisme yang tidak berbentuk itu, surat juga berjuang menentangnya amat jalan lain. Dengan kesabarannya ia membuat titik-titik pada kanvas yang tidak tanggung-tanggung besarnya, kurang lebih 2 x 3 m, ialah “Minggu Pertama dipulau La Grande Jatte” (1884). Dari lukisan ini jelas sekali teori Seurat dapat kita baca.
Disederhanakannya bentuk-bentuk alam ini menjadi silhcuette silbouette yang geometris dengan fariasi yang cukup sesuai dengan citarasanya didalam design. Silhouette-silhouette tersebut kemudian “diatur” dalam kanvasnya, disusun menjadi suatu komposisi yang baik dengan membentuk integrast yang menyeluruh antara unsur yang satu dengan yang lain. Karena pola itu diisinya dengan titik-titik warna namun tidak melenyapkan sifat-sifat linear dari kontur-konturnya. Yang terakhir inilah yang menjadikan lukisannya “pointillisme”. Titik-titik tersebut merupakan hasil uraian warna-warna jadian (terutama banyak yang sekali menimbulkan pengotoran-pengotoran lukisan seperti misalnya coklat itu) dikembalikan kepada warna pokonya untuk mendapatkan kesan warna yang lebih cerah. Oleh karena itu gayanya ini kadang-kadang disebut juga dengan “divisionisme” memiliki teorinya, dan dengan Cehromo-Luminarisme” menilik hasil yang merupakan hasil lukisan yang cemerlang itu. Namun jangan lupa bahwa pembagian urutan ini hanya bersifat penjelasan saja untuk memudahkan pengertian kita atas teorinya. Dalam prakteknya tentu tidak sederhana itu.
Lukisan ini sama sekali bukanlah tangkapan sesaat seperti impressionisme, melaikan lukisan yang teoritis, terutama masak-masak dan diselesaikan dengan teliti. Seni bagiannya adalah harmoni. Kalu menilik cerahnya ia mendapatkan pola-polanya diatas kanvas, memang ucapan ini dapat dibenarkan. Designingnya adalah merupakan suatu kelompok musikal yang manis.
Lukisan-lukisannya yang lain adalah: “Orang-orang Mandi” (“Une Baignade”) (1883-84), Les Poseuses” (1888), “cirkus” (1891), dsb. Sayang ia tidak berumur panjang, pada tahun 1891 ia meninggal dalam usia 32 tahun.
VINCENT VAN GOGH (1853-1890). Expresionisme dalam arti umum, atau lukisan-likisan yang expressif, telah lama dikenal. Lukisan EL Greco misalnya, adalah xpressif. Tetapi expressionisme sebagai aliran lahir dengan tokoh Van Gogh ini. Kalu seurat dengan “La Grande Jatte”nya adalah teritis sekali, maka Van Gogh adalah terkenal dengan emosinya, ambisinya yang meluap-luap, yang terlibat dalam karya-karyanya seperti misalnya “Malam penuh Bintang” itu.
Cerita tentang Van Gogh adalah cerita penderitaan, emosi yang meluap-luap, kegagalan-kegagalan dalam hidup, dan sebagainya. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya pada usia 27 tahun, pada tahun 1880, ia memutuskan untuk hidup sebagai pelukis.
Karya Vincen Van Gogh
Lukisan-lukisannya mula-mula bertemakan penderitaan, kemelaratan rakyat, dengan warnaan yang gelap, monochromatis ; citarasanya lebih kearah kemanusiaan dari ada nilai-nilai estetisnya. Kedatangannya di Paris dan pertemuannya dengan Pissarro membuat perubahan besar. Seperti yang juga dinasehatkan kepada Cezanne, Pissarro mengsugesti Van Gogh untuk meninggalkan warna-warnanya yang kegelapan itu dan menggantinya dengan warna-warna cemerlang yang karakteristik impressionisme. Tetapi perubahan ini lebih dari sekedar perubahan tehnis saja. Ia menyangkut pula visinya terhadap obyek.
Dari goresan impressionistis dan titik-titiknya Seurat ia memperkembangkan tehnik melukis dengan goresan yang pendek-pendek dari warna-warna yang cemerlang yang nantinya goresan tersebut yang berubah menjadi melengkung serta melilit-lilit penuh irama, tidak hanya struktur dasarnya saja tetapi sampai juga pada detail yang sekecil-kecilnya. Terutama dalam karya-karyanya yang terakhir, terlihatlah bahwa segala sesuaatunya luluh didalam irama ini, obyek-obyeknya ditarik dan dibengkok-bengkokkan, dihanyutkan dalam gerak pusaran yang menawan. Maka jadilah ia bener-bener seorang artis.
Yang menjadikan Van Gogh seorang pelukis yang unik adalah kemampuannya untuk menampilkan didalam karya-karyanya pernyataan obyek yang paling hakiki bersama-sama dengan pernyataan perasaannya. Dalam lukisan-lukisannya dengan obyek-obyek yang sederhana itu ia meyuguhkan kepada kita keindahan dan kekuatan obyeknya, namun bersamaan dengan itu pula ia mengemukakan kegairahanya dan perasaan hatinya, perasaan kesepian, kebutuhan akan kasih sayang yang telah membimbingnya untuk menjadi seniman. Jiwanya melonjak-lonjak, perlu saluran, perlu komunikasi. Ia adalah seorang expressionist. Dalam lukisan realitis biasanya pelukis terbawaa untuk memperhatikan detail-detail yang tidaak berarti dan dalam romantisme kita dibawah jauh-jauh dari dunia kita sehari-hari, sedang didalam karya-karya Van Gogh realitas dan emosi dipersatukan. Obyek-obyeknya adalah obyek alamiah dan batiniah.
Masanya yang paling produktif adalah dua tahun dari hidupnya yang terakhir Arles dan Saint-Remy. Sebagai seorang jenius dan eksentrik yang telah menemukan dirinya, karya-karyanya melimpah-limpah, penuh dengan originalitas dan emosionalisme. Dengan emosinya yang meluap-luap itu ia adalah seorang romantik. Tetapi lukisan-lukisannya menunjukan bahwa bersama-sama dengan Gauguin ia adalah pelopor exspressionisme.
Beberapa karyanya:
“Drawbridge” 1888 Arles
“Bunga-bunga matahari” 1888 Arles
“Pemandangan dengan pohon jaitun” 1889 St. Remy
“Jalan dengan Cypress” 1890 St. Remy
“Malam penuh Bintang” 1889 St. Remy dan Sun Flower Karya Van Gogh
Pembicaraan tentang Vincent Van Gough tidaklah lengkap sebelum kita menyebutkan sponsor yang setia yang selalu menunjang kegiatannya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, ialah miliknya sendiri Theo. Van Gough tidak akan sempat berprestasi setinggi itu tanpa Theo yang selalu menyediakan material baginya, mendorongnya dan menjadi tumpahan kalbunya.
Pada waktunya lukisannya belum dimengerti orang, dan dengan sendirinya belum ada yang membelinya. Bukan itu saja, Van Gough-pun sering bertengkar dengan teman sesamanya tentang ide-idenya. Tetapi lukisan yang dulu tidak laku itu kini sering diperebutkan dengan harga jutaan dollar. Dan sekalipun Van Gough tidak sempat menikmatinya, adiknya, Theo, tertolong karena semua pengeluarannya sudah tertutup plus sekian persen keuntungan.
PAUL GAUGUIN (1848-1903). Seperti halnya dengan Van Gough, kehidupan Gauguin cocok buat pelukis biografi, penuh dengan liku-liku dan penderitaan. Hidupnya diselimuti dengan keprimitifan, masa kecilnya di Peru dan akhir hidupnya dihabiskan dikepulauan Lautan Teduh (dari Tahiti dan berakhir dikepulauan Marqueses).
Dimasa mudanya ia menjadi stock-broker dan hidup kecukupan, bahkan bisa juga membeli lukisan-lukisan antara lain kepunyaan Manet, Renoir, Pissarro dan juga Cozanno. Semula melukis hanya untuk mengisi waktunya yang kosong saja, tetapi kemudian dengan pengaruh Pissarro yang kuat akhirnya (pada tahun 1886) ia menentukan sikap untuk menjadi pelukis penuh.
Semula ia melukis bersama-sama (dan secara) kaum impressionist, tetapi kemudian merasa bahwa impressionisme tidak dapat menampung kehidupan misterinya. Didalam lukisannya “The Vision after the Sermon”, Jacob wrestling with the Angel” jelas terlihat bagaimana teorinya dan apa yang dicarinya dalam lukisan-lukisannya. Ia menggunakan warna-warna yang murni dan cemerlang, bentuk tokoh-tokohnya disederhanakan menjadi garis-garisnya yang essensiil saja, dan berusaha untuk menghindarkan pembentukan plastisitas terutama dengan bayang-bayang. Dengan demikian maka lukisan-lukisannya menjadi kedekoratifan. Orang-orang kota tidak memuaskannya dan pergilah ia ke daerah-daerah diluar kota untuk mencari kehidupan yang masih agak “Primitif”. Jiwanya yang eksotis selalu berusaha untuk mencari yang lain daripada yang lain. Lihatlah dalam lukisan tersebiut bagaimana pakaian dari tokoh-tokohnya. Adalah tidak mengherankan apabila hal seperti ini ahirnya berkesudahan dengan keputusannya untuk meninggalkan kebudayaan eropa dan pergi ke Lautan Teduh. Baginya kepulauan Eropa sejak semula adalah terlampau raasionalitis sehingga tidak memberi kesempatan bagi hidupnya mythos dan misteri. Dengan nakal ia berkata “Kesalahan yang paling besar adalah terdapat dalam kesenian Yunani itu, bagaimanapun indahnya kesenian tersebut”.
Banyak sekali karya-karya Lautan Teduhnya, baik cat minyak maupun cukilan-cukilan kayu. “ia orang Waria” (1891), “Manau Tupapay” (1892), “Hina to Fatou” (1893), adalah beberapa diantaranya.
Sekalipun agak janggal kedengarannya, namun pernah juga ia terpengaruh oleh lukisan-lukisan , terutama pada monumentalitasnya. Hal ini dapat kita saksikan dalam karyanya “Perfect seorang Wanita” (1890).
Seni lukis Gauguin mempengaruhi generasi berikutnya dan muncullah aliran Nabisme dengan Denis, Bonnard, Vuillard dan beberapa yang lain.
Berkatalah Maurice Denis, “Gauguin bagi generasi 1890 adalah sama dengan Manet bagi generasi 1870.” Demikianlah halnya, setiap kata-kata Gauguin selalu diikuti oleh pengikut-pengikutnya dan hampir-hampir dia serupa Nabi bagi mereka itu. Katanya, “Do not copy too much from nature, take from nature by dreaming about it always search for the absolute! Dream and then just go a head and paint,” “sintesis” juga sering dipercakapkan. Dengan itu yang ia maksudkan ialah intensifikasi dan konsentrasi dari impresi alamiah yang diperoleh dengan elemen-elemen dekoratif. Oleh karena itu nasehatnya sekali lagi ialah “to paint by heart”, karena didalam ingatan yang diwarnai dengan emosi, bentuk-bentuk alam itu lebih terintegrasikan dalam suatu susunan yang hirarehis.
ABAD KEDUAPULUH (1990)
Dalam lebih kurang 15 tahun pertama dari abad keduapuluh ini ternyata perkembangan seni begitu menentukan kearah pembentukan bermacam-macam aliran yang timbul selanjutnya serta pembukaan pintu yang terakhir dari kebebasan dan keleluasaan seni di abad kita ini.
Pada permulaan abad ini, ialah pada tahun 1900, seolah-olah di Paris terdapat kekosongan. Gauguin pergi ke tempat pembuangannya (atas kehendak sendiri) untuk kedua kalinya dan meninggal 3 tahun kemudian dalam kemiskinan Van Gogh dan Seurat sudah mati kira-kira 10 tahun yang lalu, Cezanne sudah lebih 20 tahun lamanya meninggalkan Paris, Lautree berperang melawan mautnya dan menyerah setahun kemudian. Dengan sudah rabun, demikian dengan Monet serta Renair, sekalipun mereka sedang menyelesaikan karya-karyanya yang terakhir dan yang terpenting (Monet dengan kolam dan teratainya dan Ronair dengan orang-orang mandinya).
Namun Paris sama sekali tidak kosong. Bahkan sebaliknya, Paris menjadi idaman bagi setiap pelukis dari segala penjuru dunia untuk dikunjungi dan banyak pula diantaranya yang bermukim di situ. Boleh dibilang bahwa para protagonist dalam panggung seni lukis abad ke 20 ini semuanya pernah tinggal di Paris. Ada di antara mereka yang memang orang-orang Paris seperti; Rouault, Delaunay, Utrailo, Derain dan Vlamick. Adapula pendatang dari bagian lain negri Prancis seperti ; Braque, Leger serta Duchamp dan banyak pula pendatang dari luar negri, misalnya Picaso, Gris, Brancusi bahkan Kandinsky, Klecnolde, Boccioni, Severini, Modigliani dan John Marin pun pernah di Paris.
Dalam waktu yang bersamaan dengan pemusatan kekuatan di Paris ini, terdapatlah pula diluar kota Paris suatu pusat kesenian baru yang mulai ramai juga dikunjungi orang, ialah Munehen yang mempunyai akademi yang cukup terkenal dan mampuh menarik pelukis-pelukis seperti Kandinsky dan Klec. Ciri khusus dari pusat kesenian baru ini ialah tarikannya kepada sifat-sifat kedalaman dari seninya. Kalau Paris lebih tertarik kepada bentuk, maka orang-orang Murahen lebih tertarik kepada kedalaman isi serta latar belakang filosofis dari seninya. Dan tulisan-tulisan tentang teori seni abstrak dan tentang ekspresi yang pertama juga lahir di sini (Worringer, Abstraktion und Einfuhlung dan dan karya kandisnya, Uber das Goistigo is gor Kunst).
F A U V I S M E
Penamaan ini berasal dari perkataan Prancis “les fauves” (binatang jalang) yang di pakai olehLouis Vauxcelles seorang kritikus yang terkejut melihat keliaran dari segerombolan artis-artis muda yang berekspresi di Salon d Automne pada tahun 1905 dan dengan serta-merta menyebut gallery tersebut sebagai cagedes fauver (sangkar binatang buas). Peristiwa Louis Leroy dengan impressionismenya kemudian terulang kembali, istilah itu justru lalu diangkat oleh yang bersangkutan menjadi nama peresminya.
Menurut Matisse seorang pelopornya, Fauvisme adalah suatu reaksi terhadap metodisme yang lamban dan tidak tepat dari Neo-impressionisme Seurat dan Signac. Katanya “Fauvisme shook off the tyranny of divisionism,” dan selanjutnya dikatakan pula |(Duthuit, The Fauvisme Painters, New York, 1950, p. 57) : “Noo-Impressionisme, or rather that part of it which is ealled Divisionism, was the first organisation of the metinod of Impressionisme, but this organization was purly an aften meehanieal. The splitting up of color brought the splitting up of from and contour. The result : a jerky surfool Everyting isredueel to a mere segnation of the rotina, but one which destroys all tranquillity of surface and contour. Objects are differentin, ed only the luminesity that is given them. Everything is treated in the some way. In the and there is nothing but tactile animation, comporable to the vibrato of a violin or voice. Turning more and more grey with time, Seurats paintings have lost the programe quality of their colour arrangs ment and have retained only their autentic values, those human, paintris values whieh to day seem all the more profound.”
Bahwa “ketepatan bukanlah selalu lebih “(L exaotltudo n bat pas lverite), adalah selogan yang biasa bagi segenap seni modern, namun ia di cetuskan untuk yang pertama kalinya oleh Matisen dan kaum Fauvist-nya. Slogan Gauguin dan kaum simbolis lain lagi. Bagiannya, “the work of art is not expressive but presentative, a correlative for feeling and not an expression of feling”. Tentu saja hal yang seperti ini tidak dapat di terima oleh Matiss, namun dibidang lain ia menerima juga dari Gauguin. Terutama dalam hal sifat-sifat ehremantis lukisannya.
Pada tahun1905 ia mengetahui artian baru dari warna yang jelas terlihat pada lukisannya “Pohon-pohon Jaitun di Collioure” (1905). Sepintas lalu warna-warna yang dipakainya, demikian juga goresan-goresan yang pendek-pendek, bunganya sama sekali. Warna-warna yang digunakan adalah warna-warna yang murni yang dijajarkan satu sama lain, dengan goresan-goresan yang menimbulkan sifat-sifat linear dan ritmis. Ia mempelajari bahwa warna-warna murni itu mempunyai iramanya sendiri, strukturnya sendiri dan bisa bicara sendiri, tidak sekedar berfungsi deskriptif ataupun dekoratif saja. Dengan demikian maka pohon bisa saja berwarna merah, langit oranye dan mukapun bisa diberi bergaris hijau (“the green Line” atau Madame Matisse” 1905). Lukisan ini adalah kostruksi warna-warna secara abstrak, sedang Madame Matisse ataupun pohon-pohon jaitun itu hannyalah sebagai motif saja.
Matisse adalah colorist besar dan juga master of arabesque. Yang terakhir ini kiranya adalah akibat dari pengaruh studinya atas seni timur : keramik Persia, mosaik dari Byzantium, seni Islam dan akhirnya perjalanannya ke Marocce. Kemahirannya pada irama garis juga istimewa. Sebagai seorang Perancis tulen ia amat menghormati akal, kesederhanaan serta kejelasan. Katanya “hanya yang dapat menyusun emosinya secara sitematislah yang dapat di sebut seorang artis.” Dan araboska yang banyak dilukiskannya itu adalah bertanda dari keteraturan dari spiritualnya. Ia sering melukis dengan warna-warna yang datar bahkan juga dengan warna-warna yang ditempelkan dikanvasnya untuk memperoleh kesederhanaan dan ke jelasan karena ia ingin mendasarkan kwalitas lukisannya pada harmani dari warna-warna yang datar itu.
Regatta At Cowes Karya dari andre derain Charing Cross Bridge
TOKOH-YOKOH FAUVIST YANG LAIN. Fauvisme tidak pernah merupakan kelompok yang menyatu dan Matisse menjadi pemimpinya juga hanya karena karya-karyanya yang menonjol, bukan karena sesuatu yang bersifat formil. Banyak para pelukis muda yang bergabung dengan kaum Fauvisme, terutama dalam menyelenggarakan pameran-pameran bersama, namun yang terdekat adalah Andre Derain (1880-1954) dan Mauriee de Vlaminck (1877-8) dan Geogres Rouault (1871-1956). Yang terakhir ini “keliarannya” menuju kearah lain. Lukisan-lukisannya lebih mengarah kepada lukisan kaum expressionist dari pada jenis lukisan tema-tema fauvistnya. Bahkan kata Read, ia adalah pelukis Perancis modern yang paling expressinonistis,Rauault membelakangkan kebahagiaan dan meninggalkan dunia keindahan. Seninya tidak memecahkan sesuatu problem melainkan melainkan melontarkan problim dan isinya lebih banyak merupakan propaganda (agama). Ia berharsat sekali untuk mempertahankan I art pour I homme. Last but not Least, Braque dan Pieaso pun pernah juga bergabung dengan kaum Fauvist ini.
E X P R E S S I O N I S M E
Apabila expressionisme didefinisikan sebagai “kebebasan distorsi bentuk dan warna untuk melahirkan emosi ataupun sensasi dari dalam,” maka fauvisme adalah salah satu dari jenis expressionisme. Tetapi biasanya dalam expressionisme emosi atau sensasi dari dalam itu dihubungkan dengan pathos. Kekerasan ataupun tragedi. Dalam hal ini Van Gogh adalah salah seorang diantaranya. Namun batasan yang paling khusus tentang expressionisme ialah, “suatu aliran dalam seni lukis abad ke 20 ini yang dilahirkan di Jerman dan dalam beberapa waktu berkembang di sana.”
Expressionisme adalah suatu aliran yang berusaha untuk melukiskan “.....a spoctrally hightened and distorted actuality” dan selanjutnya Worring or mengatakan bahawa padanya terdapat tendensi kearah individualisasi dan fraggontasi: dalam pribadi tidak di timbulkan nilai-nilai sosialnya melainkan dikembangkan kesadarannya akan isolasinya, keterpisahannya (bahwa sekalipun keadaan lahirnya kita ini berkumpul dengan lain-lain orang, namun secara pesikologis tiap orang adalah terpisah, ingat karya Daumier “Pengumpulan Grafik” of. Ante)...dan yang terang selalu dapat kita lihat dalam soal individualisasi ini ialah adanya kesediaan seniman untuk mengisolasi dari dan menemukan inspirasi dan motifnya dalam dirinya sendiri pula.
Dengan beberapa pengecualian bahwa expressionis-expressionis yang murni adalah orang-orang dari Eropa Utara yang lebih dekat dengan sifat-sifat yang digambarkan oleh Warringer di atas, orang Norwegin (Munch), orang Belanda (Van Gogh), orang-orang Jerman dan Rusia (Kandinsky, Jawlensky), Van Gogh dan Gauguin banyak berpengaruh pada timbulnya expressionisme di Jerman ini, dan selain itu, pelopor-pelopor lainnya ialah Perdinant Hodler (Swiss, 1853-1918), James Ensor (Belagia, 1860-1949) dan Edward Munch (1863-1944).
Sama dengan pertentangan yang ada pada masa yang lalu antara Klasikisme dan Romantisme, pada saat ini juga ada pertentangan antara pembina-pembina bentuk (yang dihubungkan dengan Ecole de Paris) dengan pembina expresi jiwa (Expressionisme). Expressionisme adalah lawan dari Impressionime yang hanya berusaha untuk melukiskan kesan optis dari sesuatu dan melihat dunia sebagai sebuah tempat yang indah penuh warna. Sedangkan expressionisme menjelajahi jiwannya dan menemukan di tempay itu “Stum und Drang” dan pancarannya keluar merupakan kegelapan yang menyelubungi dunia. Jenis paletnya umumnya gelap dan berat dan ditambah dengan distorasinya merupakan media yang baik untuk melukiskan emosinya kepada orang lain.
DIE BRUCKE. Pada tahun 1905, bersamaan dengan proklamasi fauvisme, di Drosden dibentuk Die Brucke (artinya jembatan; nama “expressionismus” baru muncul kurang lebih 6 tahun kemudian). Pelopor pembentukannya adalah Ernst Ludwig Kirchner (1880-1938), seorang mahasiswa arsitektur yang makin lama makin cenderung kearah grafis. Untuk merealisir idenya itu ia memanggil teman-teman arsitekturnya, Fritz Bleyl, Erich Hockel (1883- ) dan karir Sehmidt Rottluff (1884- ). Kemudian menyusul tokoh yang agak lebih tua, Emil Nolde (1867-1956) Nolde memijakan karyanya atas perasaan religiusnya. Lukisannya “Kehidupan Maria Aegyptiaca” (dalam 3 episode, sinful life conversion, death) amat menggetarkan karena uglinesnya. Dengan Ugliness serta penolakan terhadap segalanya yang seba manislah Nolde menyalurkan rasa agamanya. Dua orang lagi yang ada hubungannya dengan Die Brucke ini ialah Max Peehstein (1881- ) dan otto Mueller (1874-1930).
Selain karya-karya lukisan dan grafiknya, sekali-sekali Semidt Rottluff dan Kirchner juga mematung. Namun adalah seorang yang betul-betul pematung yang sering kali juga disangkut-pautkan dengan kelompok ini, ialah Ernst Barlach (1870-1938). Sebaliknya, selain mematung ia kadang-kadang juga membuat grafik.
Organisasi ini tidak berselang lama, pada tahun 1907 sudah mulai pecah dan akhirnya benar-benar hilang (1913) karena organisasi tersebut tidak didasarkan benar-benar oleh persamaan ideologi melainkan karena hal-hal yang bersifat praktis, seperti melukis bersama, membeli alat-alat dan menggunakannya bersama, expresi dan membuat brosur bersama, dan sebagainya, sehingga segera setelah mereka bisa mengatasi kesukarannya sendiri-sdendiri tiudak lagi merasakan pentingnya berkumpul. Namun bekas anggota-anggotanya melukis terus mengikuti arahnya yang awal dan pada waktu itu jiwa expressionisme telah meluas seluruh Jerman.
“DER DLAVWE RETTER” Dibentuk pada tahun 1911 di Munchen sementara Die Brucke menghilang dan diikuti dengan beberapa ekspresi yang berhasil. Dalam die Brucke, obyek dalam lukisan memang berperan penting. Segala perombakan bentuk maupun warna selalu dipergunakan untuk mengintensifkan pelukisan obyek ini. Tetapi dalam der Blauo Reiter, obyek kehilangan fungsinya. Pelan-pelan lukisan menuju ke abstrak dan ke non-obyektiof (non-figuratif). Kelompok ini nafasnya lebih segar, suka akan warna-warna yang meriah, ritme-ritme musikal plus garis-garis yang lincah yang melengkung-lengkung dengan lancarnya. Lain dengan kelompok terdahulu, yang serba suram, gelisah dan keras.
Tokoh utama dalam kelompok Der Blaue Reiter adalah Franz Mare (1880-1916) dan Wassily Kandinsky (1866-1944), seorang seniman kelahiran Rusia yang pernah juga mengikuti pameran Brucke. Mare segera terbunuh sebelum memasakan lukisannya, sedang Kandisky sempat pada tahun1910 memantapkan namanya sdi dalam sejarah, dengan ekspresinya yang betul-betul non-figuratif dan berbarengan dengan itu menulis suatu teori, “Conoorning the spiritual in Art”, yang diterbitkan dua tahun kemudian dan segera menjadi buku pegangan. Visinya jelas terbaca dalam byuku tersebut.
“Suatu hasil seni terdiri dari dua unsur, unsur dalam dan unsur luar. Unsur dalam ini ialah emosi dalam jiwa seorang seniman; dan emosi ini punya kemampuan untuk membangunkan emosi serupa dalam diri penonton.”
“Unsur dalam, ialah emosi, harus ada dalam sesuatu hasil seni. Apabila tidak, maka hasil seni itu tentulah sebuah kepalsuan. Unsur dalam jenis ini justru menentukan bentuk dari hasil seni tersebut.”
Selanjutnya ia mengatakan bahwa bentuk dan warna adalah bahasa yang dapat mengekspresikan emosi, persis seperti nada-nada musik yang langsung menyentuh hati. Oleh karena itu menggambarkan bentuk-bentuk yang ada di alam ini. Akhirnya Kandinaky menutup bukunya dengan suatu kesimpulan, bahwa ada tiga sumber inspirasi : (1) impresi,ialah kesan langsung dari alam yang ada di luar diri si seniuman; (2) improvisasi, ialah ekpresi yang sepontan dan tidak disandari dari sesuatu yanhg ada di dalam yang spiritual sifatnya dan (3) komposisi, ialah ekspresi dari perasaan di dalam yang terbentuknya dengan lambat-lambat dan secara sadar, dan sekalipun tetap menggunakan perasaan dan tidak rasionil. Ternyata karya-karya Kandinsky juga ada tiga macam, ialah: Impresi (karya-karya fauvistisnya), Improvisasi (karya-karyanya yang abstrak eksprionistis), dan komposisi (sebagai mana yang terlihat dalam karya-karya abstraknya yang konstruktif).
Dari karya-karya improvisasinya itulah maka ia dianggap sebagai printis aliran abstrak expressionisme yang nantinya dibuahi oleh seorang pelukis Amerika, Jakson Pollock dan dari yang ketiga, ialah Komposisi, ia adalah perintis aliran Konstruktivisme.
WWI Karya kandinski yang bersifat Der Blaue Reiter atau condong ke abstrak
Seniman-seniman Blaue Reiter yang lain ialah Alexei von Jawalensky (1864-1941) yang juga kelahiran Rusia, Lyonel Feininger (1871-1956) dan kemudian Paul Klee (1879-1940). Keempatnya ini pada tahun 1924 membentuk apa yang disebutnya dengan nama “Die Blaue Vier”, dan umumnya mereka itu adalah tenaga-tenaga pengajar pada Bauhaus, ialah suatu sekolah untuk calon-calon arsitek, seniman dan designer yang amat berpengaruh di Eropa.
Selain sebagai seorang pelukis yang kreatif Paul Klee adalah juga seorang teoris yang tidak kepalang tanggung. Banyak buku-bukunya yang diterbitkan sejak ia mengajar di Bauhaus (Padegogisohes Skizzenbuch, 1925; Uber die Moderne Kunst 1945, dan Des billdnnorische Denken, 1956). Dari buku-bukunya itulah banyak kita temukan teorinya tentang seni, tentang design maupun pandangannya tentang prinsip-prinsip seni modern. Katanya, “Art does not render the visible rather, it makes visible” (seni tidak menggambarkan yang nampak, melainkan membuat yang tidak nampak menjadi nampak).
Kreativitasnya mengagumkan, lukisannya selalu membawakan ide-ide baru berbeda sekalipun tidak menginginkan orang jadi tidak mengenalinya penuh kesegaran daan puitis. Ia tau bagaimana mengkombinir kekuatan dengan keluwesan dan juga spontanitas dengan perhitungan. Lihatlah karya-karyanya, “pemandangan dengan burung-burung biru” (1919). “Pemandangan dengan burung-burung kuning” (1929), Pengukuran pribadi atas tempat-tempat tidur” (1930), dan “La belle Jardiniere” (1939). Karya-karyanya sering dihubungkan juga dengan seni abstrak, dadaisme dan juga surrealisme.
DIE NEUE SACHLICHKEIT. Pada saat-saat yang paling ganas dari Perang Dunia I para pelukis ekspresionis itu merasa tidak cocok dengan nonobyektivitas serta nafas yang segar dari kaum Blaus Roiter dan demikian pula tidak sesuai dengan emosionalitas Die Brucke, yang dipandangnya agak individuil dan kurang sesuai bagi keadaan dimana masalah umum terasa lebih menonjol. Maka timbullah kelompok dari segolongan pelukis yang menggambarkan masalah-masalah sosial dan politis seperti pemboman dengan segala akibatnya, keadaan masyarakat yang tidak sehat, dsb. Kelompok ini sering disebut dengan kelompok Die Neue Sachlichkeit (Obyektivitas Baru) atau kelompok Verisme. Hasil-hasil lukisannya seperti karikatur rasanya, tajam dan sinis. Tergolong dalam kelompok ini adalah pelukis-pelukis George Grosz (1893- ), Otto Dix (1891- ) dan Max Beckmann (1884-1950) dengan karya-karyanya antara lain, “Cocok buat dinas Militer” (Grosz, 1918) yang sinis sekali, militer dan dokter-dokternya gemuk-gemuk sedang yang sedang diperiksa untuk dinas militer itu tinggal kulit pembalut tulang saja, “Pemandangan dijalanan” (Gros, ?) suatu sindiran terhadap kebobrokan masyarakat yang nampak dijalan maupun lewat jendela-jendela, “Parit pertahanan” (Dix, 1921-3) sebuah kekacauan di medan peperangan, dan “Malam” (Beckmann, 1918-9) sebuah adegan sadis.
Dalam artian yang lebih luas, sebetulnya Die Brucke dapat juga digolongkan dalam Die Neue Sachlichkeit ini, ialah golongan yang memanfaatkan kemampuan exspresinya dalam kehidupan masyarakat (yang tidak perlu selalu politis), sebagai lawan dari semacam golongan yang dapat disebut sebagai Subyektivitas Baru yang menggunakan kemampuan yaang sama untuk menjelajahi hakikat dari realitas ataupun jiwanya sendiri. Namun secara khusus dan yang justru yang lebih terdengar Die Neue Sachlichkeit tersebut dihubungkan dengan sosial-realisme ala komunis, dan di dalam pengertian ini contoh-contoh yang lain mudah sekali di cari seperti misalnya para pelukis dari Mexico itu (Diego Rivera, Orosco).
Composition-X Karya Kandinski
EKSPRESSIONIS-EKSPRESIONIS YANG LAIN. Masih banyak lagi tokoh-tokoh ekspresionis yang lain yang kurang erat berhubungan dengan kelompok-kelompok tersebut, seperti misalnya : Oskar Kokosehka ’86- ), pelukis asal Wina yang banyak menyangkutkan karya-karyanya dengan teori-teori Freud (“Portret Nadame Franzos”, 1909 dan “Portret Dr. Tietze dan Nyonya”, 1909), Chaim Soutine (1894-1943) pelukis kelahiran Rusia dan pergi ke Paris sejak 1911 dengan karya-karyanya antar lain. “Ayam” (1925-6), “Penyayi Koor” (1928) dan “Portret Kisling” (?), Kathe Kellwitz (1867-1945), seorang ekspresionisme wanita yang terkenal dengan karya-karya lithografinya dan Amedoo Modigliani (1884-1920), pelukis Italia di Perancis yang mati muda dan menarik karena tokoh-tokohnya yang dipanjang-panjangkan itu.
SEBUAH CATATAN TENTANG ART NOUVEAU
Dalam akhir abad ke-sembilanbelas dan awal abad ke-duapuluh terdapatlah suatu corak yang amat berpengaruh dengan lingkungan yang cukup luas juga, baik didalam seni lukis, seni ilustrasi maupun dalam seni dekorasi. Corak ini di Perancis dan Belgia terkenal dengan nama Art Nouveou yang secara kata demi kata berarti seni yang baru. Sementara itu di Jerman ia disebut dengan Jugendstil dan di Spanyol La Modernista. Maksud dari padanya adalah menciptakan pola-pola baru yang lebih ekspresif.
Corak ini dikenal dengan tanda-tandanya yang cukup jelas ialah penggunaan secara agak berlebi-lebihan garis-garis yang melengkung-lengkung yang ornam,entis berdasar atas setiliran bunga-bungaan, daun-daunan dengan sulur-sulurnya dan kadang-kadang lengkungan-lengkungan itu begitu panjang dan langsing seperti leher angsa. Sekaligus ia memiliki sifat-sifat simbolis serta romantis, yang konon merupakan pemberontakan terhadap materialisme industriil di Eropa. Maka dipenuhilah seni ilustrasi dan seni dekorasi dengan irama lengkungan-lengkungan ini, diulang-ulang seperti tidak puas-puasnya pola ini dimanfaatkan.
Gerakan ini bermula di Inggris dengan tokoh-tokohnya William Morris dan ilustrator Aubrey Beardsley dan mendapat sokongan kuat dari kritikus John Ruskin. Dari sini ia memencar kesegala arah, kedaratan Eropa dan Amerika. Sumber inspirasinya adalah antara lain print-print dari Jepang, hiasan-hiasan vaas Minois Junani dan juga ornamen dari Mesir dan Mesopotamia kuno.
Pada saat yang seperti ini seni kriya gengsinya naik. Seorang seniman tidak perlu merasa malu mengatakan (seperti yang dikatakan oleh Bahr ini): “Pada waktu saya membuat kursi saya mencari sesuatu yang sama dengan apa yang saya cari pada waktu saya melukis, ataupun sama pula dengan apabila seorang penyair melukis sajaknya. Saya ingin untuk mengkomunikasikan perasaan yang sedang memikat saya kepada orang lain”. Pada saat itu pula filosuf Theodor Lipp (yang terkenal dengan teori Einfhalung-nya) dalam kuliahnya diuniversitas Munchen mengemukakan tentang efek psikologis dari garis-garis yang terorganisir. Tetapi betapapun juga corak baru ini didalam seni murni agak kurang mendapatkan berkembang, sekalipun kita lihat juga pengaruhnya atna Van Gogh, Gauguin, Munch, maupun lebih-lebih lagi Lautree (lihatlah karya-karya Van Gogh “La Bercause”, Gauguin “Portret diri dengan Praba”, Munch “kehawatiran” dan karya-karya poster Lautree misalnya).
Bentuk-bentuk bunga , daun dan sulur-sulur itu lama-lama beruba menjadi garis-garis yang abstrak, garis-garis yang “Do Not Suggest Any Object”. Katanya, “bentuk-bentuk yang murni dan indah adalah macam seni masa datang.”
PICASSO DAN KUBISME
Dengan agak tidak terduga-duga sebelumnya kubisme lahir dalam tahun 1907 yang merupakan kelanjutan dari pandangan Cezanne tentang obyek ditambah dengan pengenalan atas patung-patung primitif dari Afrika dan Libria oleh tokoh-tokohnya, Pablo Picasso (1881- ) dan Geogres Braque (1882- ). Kelahiran ini dengan jelas dapat dilihat pada karya Picasso, “Les Demoiselles d’Arignon” sekalipun beberapa bagian dari padanya mungkin ditambahkan kemudian (kepakla Demoiselles yang ada dikatakan). Cezanne dengan konsepsinya tentang bentuk dan ruang dan anggapannya terhadap obyek sebagai motif-motif geometris abstrak adalah jelas sekali dalam karya-karya Picasso tersebut. Dan sementara itu Picasso sendiri mengakui bahwa ia dipengaruhi oleh patung-patung Iberia di Louvre (lihat Demoiseles yang ada disebelah kiri) dan patung-patung primitif itu ternyata menunjang ide Cozanne (dalam bentuk lain) karena mereka juga merupakan hasil penyederhanaan bentuk-bentu alam secara geometris. Tentu saja unsur-unsur itu masih harus di tambah satu lagi untuk melahirkan kubisme tersebut, ialah intuisi Picasso yang luar biasa disatu pihak serta kemampuan resionir Braque dilain pihak.
“Les Demoiselles” mengandung elmen-elmen geometris, namun sebenarnya belum “begitu” kubistis dan dalam dua tahun kemudian proses “kubistisasi” ini berlangsung secara intensif. Periode ini disebut juga priode Cozanne, karena memang pengaruh orang itu terasa sekali.
PERIODE ANALITIS. Pada sekitar tahun 1909-1912 kubisme mulai mengembangkan teori-teori yang benar-benar kubistis ialah teori simultanitasi. Dalam hal ini obyek harus di “analisa”, dipecah-pecah menjadi faset-fasetnya dan penganalisaan ini harus dijalankan dari beberapa sudut pandang yang kemudian dilukiskan sekaligus. Contoh dari padanya dengan mudah dapat dilihat pada karya (1883-1956) “Tea Time” yang cangkirnya separuh kelihatan dari samping persis dan separoh lainnya agak dari atas, mukanya sekali waktu terasa seperti terlihat dari samping dan dikali lain dari depan. Dalam bentuk yang lebih kompleks, lukisan Picasso “Laki-laki dengan Viol” (1911) dan lukisan Braque “Laki-laki dengan Gitar” (1911) adalah contoh-contoh yang lain. Dengan demikian maka sesungguhnya mereka itu telah membuat pernyataan ruang dan waktu (karena bergerak memerlukan waktu) yang sering pula disebut sebagai dimensi ke-empat dalam lukisan. Untuk itu, perspektif tidak mungkin dipakai. Maka cara lain harus ditempuh.
Nature morte à la chaise can karya Picasso yang beraliran kubisme Analitis
|
|
Le Guitariste karya Picasso yang beraliran kubisme Analitis
Karena mereka itu terpesona kepada bentuk maka warna kurang mendapat perhatian. Picasso dan Braque umumnya hanya menggunakan warna-warna abu-abu, coklat muda dan beberapa oker saja. Metzinger dan Albert Glaizes lah (1881-1953), penulis-penulis statemen kubisme itu (Du Cubisme), yang antara lain kemudian memasukan warna dalam kubisme. Sementara itu jumlah anggota kubisme bertambah dengan Juan Gris (1887-1927), Fernand Leger (1881-1955), Robert Launay (1885-1941), Francis Picabia (1878-1953) dan seorang pematung Alexander Archipenko (1887- ).
PRIODE SINESTIS, Juan Gris yang juga berasal dari Spanyol itu membuka jalan lain dalam kubisme, ialah kubisme sintestis. Apabila dalam masa sebelumnya obyeknya di pecah-pecah, kini seakan-akan lukisaan itu di susun dari bidang-bidang berlainan waarna yaang saling tumpang menumpang dan transpaaran sehingga membentuk obyek yang dilukiskan (lihatlah karya-karya Gris “Piring bu” 1916 dan “Jendela terbuka” 1917). Jenis fariasi ini ternyata lebih memberikan fasilitas kepada pelukis untuk berkreasi, menemukan interprestasinya sendiri-sendiri terhadap bentuk-bentuk yang dalam kubisme analitis terasa aakan terbatas.
Karya-karya sintetis Picasso yang terkenal ialah dua versinya “Tiga Pemain Musik” (1921) yang besar-besar dengan pewarnaannya yang cukup segar.
VARIASI YANG LAIN. Kemudian ternyata bahwa kubisme cukup fleksibel dalam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi individu untuk mengembangkan gayanya sendiri-sendiri. Fernand Leger terkenal dengan bentu-bentuknya yang lebih kuat lebih masif dengan warna-warnanya yang cemerlang. Lihatlaah karya-karyanya “The City” (1919), “Kontras bentuk-bentuk” (1919) maupun tokoh-tokoh manusianya dalam “Serdadu Berpipa” (1916) dan “Leisure” (1944-9). Semboyannya, “To the free and yet not to lose touch with reality”. Bagiannya, tokoh-tokoh manusia itu tidak selalu harus ditangkap secara nialai-nilai sentimentilnya, tetapi dapat juga dengan nilai-nilai plastisnya.
Dalam beberapa hal Futurisme ada juga yang merupakan bentuk lain dari kubisme, yang dapat dilihat misalnya dalam karya Marcel Duchamp. “Bertelanjang turun Tangga” (1912). Bentuknya adalah kubistis, namun dibalik bentuk-bentuk itu terdapatlah unsur gerak yang menarik dan oleh karenanya sering juga disebut dengan istilah “kubisme dinamis”. (Lukisan Duchamp ini menjadi terkenal dan bernilai historis karena merupakan lukisan yang menonjol dalam “Armory Show” tahun 1913 di New York yang terkenal itu, dimana buat pertama kalinya orang-orang Amerika diperkenalkan dengan lukisan-lukisan avant-garde dari Eropa).
PEMATUNG-PEMATUNG KUBISTIS. Selain Picasso sendiri yang juga mencoba menerapkan teorinya kedalam patung (misalnya “Kepala wanita”, 1909) banyak juga patung yaang berurusan dengan kubisme seperti Duchamp-Villon, Gonzales, Archipenko, Brancusi, Lipehitz dan Henri Laurens dengan beberapa buah karyanya antara lain “Kepala kuda” (Duchamp-Villon, 1914), “Silhouette” (Archipenko, 1910), “Tokoh setengah berdiri” (Lipchitz, 1915-6) dan “Petinju kecil” (Henri Inurens, 1920). Namun pematung-pematung itu tidak lama berkecimpung dalam kubisme dan segera mencari corak yang lebih kepatung-patungan.
PABLO PICASSO. Orang sering begitu saja menganggap bahwa setiap lukisan picasso mesti kubistis karena ia adalah penemunya. Anggapan ini tentulah tidak benar, sebab Picasso sesungguhnya hanay beberapa tahun saja berada dalam kubisme dan masa hidupnya yang panjang itu diisinya dengan berbagai gerak silih berganti.
Ia adalah seorang Spanyol kelahiran tahun 1881 yang setelah mendapat didikan melukis di Barcelona dan Madrid, dalam usia 19 tahun ia pergi ke Paris. Sejak kecil bakat drawingnya hebat sekali, pada waktu berumur 12 tahun telah memiliki kemampuan yang baik dalam menggambar model.
Lukisan-lukisannya yang pertama di Paris menunjukkan adanya pengaruh dari seniman-seniman senior disana, (pengaruh tersebut sesungguhnya sudah terasa sejak ia masih di Barcelona) dari Toulouse Lautree (terlihat pada lukisannya “Wanita Tua”, 1901). Lukisannya “Harlequin” ini menunjukkan ciri lukisan-lukisan Picasso kemudian, ialah penuh kontrol secara klasik, sikap tokohnya terencana baik-baik, aplikasi warnanya dekoratif dan sering-sering menunjukkan mood yang agak romantis.
Sesudah ini datanglah kemudian priode birunya yang menyibukinya selama kurang lebih tiga tahun dan dengan yang jelas dapat diwakili oleh lukisannya “Peminum” (1902) dan “Pemain gitar tua” (1903). Lukisan-lukisan ini hampir hanya dibuat dengan satu warna biru saja dan menggambarkan tokoh-tokoh dalam kesedihan yang luar biasa. Mungkin suasana sedih ini terbawa dari keadaannya sendiri yang belum mapan di Paris, belum ada sumber uang kecuali sekali-kali pulang untuk mengambil persediaan. Kemudian karena perkenalannya dengan Fernande Oliviar yang selalunya memberinya persahabatan juga kecantikannya dan pula pertemuannya dengan keluarga Medrano Circus dengan spiritnya yang segar. Dilukiskannya pemain-pemain sirkus itu dengan warna-warna merah jambunya dan yang paling “touching” diantaranya adalah “Keluarga Akrobat dan Kera” (1905).
Pada saat Picasso mulai punya reputasi artistik dan sekaligus menimbulkan sumber uang dengan priode merah jambunya ini, justru ia tinggalkan jenis tersebut karena ia tidak mau menjadi duplikator dirinya sendiri sekalipun memabawa sukses. Dan sampai dengan datangnya kubisme pada tahun 1907 Picasso menghasilkan lukisan-lukisan yang paling lembut dan innosent seperti “Wanita dengan kipas” (1905) dan “Anak lelaki dengan pipa” (1905).
Dalam usia 24 tahun pada tahun1906 Picasso berada dalam posisi yang baik, mulai dikejar-kejar dealer dan kolektor dan juga dikagumi oleh teman-teman pelukisnya. Selain Matisse Picassolah yang terkenal di Paris pada waktu itu. Dan dalam saat yang seperti itulah kubisme dilahirkan. Kubiseme tidak begitu saja lahir. Ia memerlukan banyak persiapan, banyak studi dan dibuatnyalah macam-macam studi untuk “Demoiselle d’Avignon”nya dan untuk karya-karyanya yang lain itu. Dari beberapa sketsanya kita dapat melihat jalan pinggiran dan cara kerja Picasso. Namun Picasso bukanlah Picasso kalu tidak segera berpindah dari satu corak ke corak yang lain. Di bawah ini adalah rangkuman dari “Loncatan-loncatan” Picasso tersebut. (berdasarkan atas bukunya Alfred H. Barr, Picasso : Fifty Years of His Artn 1946) :
1914 : perkembangan kubisme lebih lanjut : warna lebih di perkaya, bahwa ditambah dengan tidak sekedar cat (papiors colles)
1915-16 : kubisme lincah.
1915-21 : realisme klasik, “Portret Olga” (1917), “dua wanita duduk” (1920)
1924-28 : masa keposisi alam benda kubistis yang benda-benda, “Pelukis dengan model” (1928).
1925 : Picasso memulai priode suralitisnya dengan “Tiga Penari” (1925). Lihat saja lukisan-lukisan yang lain, “Wanita di kursi duduk. (1929) dan “Orang mandi duduk” (1930) misalnya, yang jelas-jelas surralisme itu.
1928-33 : mulai mematung dengan metal-construction.
1932-34 : dengan kanvasnya yang besar-besar melukiskan wanita-wanita dalam gaya yang melengkung-lengkung dengan garis-garis hitam yang tegas kuat dan warna-warna yang cemerlang (seperti hiasan kaca-timah). Contoh yang paling tepat “Gadisa di muka kaca” (1932).
1937 : dengan diawali oleh karya-karyanya yang lain seperti “Minotauromachia” (1935) Picasso melukis “Guernica”nya, sebuah lukisan yang cukup besar, 350 x 782 Cm; dan pengaruhnya terhadap karya-karya sesudahnya juga terasa.
1936-40 : masa lukisan-lukisanya yang besar-besar, kuat dan kepatungan seperti misalnya “Mencari ikan di malam hari” (1939).
1940-44 : masa perang : kembali pada posisi dua dimensional semacam kubisme sintentis yang dulu. Seni patungnya juga diaktifkan.
1946-48 : masa selingan di Antibes. Karyanya antara lain “Lajole de vivre” (1946), “Pastorale” (1946).
1948-54 : aktifitas pembuatankeramik di Vallauris.
Kini Picasso telah berusia 90 tahun dan dalam waktu lebih dari 60 tahun ia menduduki singgasana seni lukis dunia. Dalam usia yang begitu panjang itu ia tidak menyia-nyiakan waktunya, dari seni lukis ke patung, ke grafik, ke seni keramik dan seni lukis lagi dan seterusnya. Baik uraian tentang si raksasa seni lukis ini kita tutup dengan ucapannya :
“Adanya kenyataan bahwa kubisme dalam waktu yang begini lama ini tidak dimengerti orang, bahkan sekarangpun ada orang yang masih tidak melihat apa-apa di dalamnya, adalah tidak berarti apa-apa. Saya tidak mengerti bahasa Inggris dan bagi saya sebuah buku dalam bahasa Inggris itu adalah bagaikan buku yang kosong. Namun ini tidak berarti bahwa bahasa Inggris tersebut tidak ada. Kenapa saya mesti mengumpat orang kalu saya tidak mengerti tentang apa-apa yang saya tidak tahu itu?.
Sekalipun tidak seluruhnya, kata-kata Picasso itu banyak benarnya. Mengerti lukisan memang agak berbeda dengan mengerti bahasa yang tersurat, tetapi lebih dekat dengan mengerti tentang sesuatu yang ada dibalik suratan itu. Mengerti sesuatu lukisan adalah lebih langsung, tidak banyak terlalu melewati barikade seperti barikade bahasa Inggrisnya Picasso tersebut; dan ia mesti di warnai juga dengan cita rasa dari orang yang “membacanya”.
Chicks From Avignon karya Picasso
|
|
Guernica karya Picasso
S E N I A B S T R A K
ABSTRAKSIONISME NON OBYEKTIVISME SENI NON FIGURATIF
Dalam arti yang paling murni sebi abstrak adalahciptaan-ciptaan yang terdiri dari suasana garis, bentuk warna yang sama sekali terbebas dari ilusi atas bentuk-bentuk di alam. Tetapi secara lebih umum, ialah seni dimana bentu-bentuk alam itu (kalau ada) tidak lagi berfungsi sebagai obyek ataupun tema yang haru dibawakan, melaikan tinggal sekedar sebagai motif saja, sebagai dali membuat sesuatu, dari pada tidak membuat apa-apa. Dalam pengertian yang belakangan ini, sesungguhnya kubisme adalah abstrak (dan ada yang memang-memang abstrak, seperti misalnya karya-karya Delauny maupun Picabia). Tetapi yang akan dibicarakan ini ialah seni abstrak dalam pengertian yang pertama.
Simultaneous Contrasts Sun and Moon karya Robert Delunay
Kandisky dengan komposisinya (of.p.17) dipandang sebagai pionir seni abstrak dan kemudian menyusul tema se-asalnya, Kasimir Nelevich (1978-1935), yang setelah mempelajari teori-teori Kandisky melangkah lebih jauh lagi. Kemudian timbullah apa yang disebut Suprematisme, Konstruktivisme, Neoplastisisme (De Stijl) dan Purisme yang pada dasarnya adalah sama-sama berusaha untuk meninggalkan bentuk alam ini lah seni harus “diserikan” semta-mata terdiri dari unsur-unsurnya yang abstrak saja, seperti garis dan warna.
SUPREMATISME. Dilahirkan oleh Malorich di Mosko pada tahun 1913, dengan lukisan-lukisannya yang pada unsurnya abstraksi dalam bentikgwometris seni, seperti “Delapan empat segi panjang merah” (c.1914) dan yang lebih ekstrim lagi “Putih di atas putih” (1916) yang merupakan kanvas putih telanjang dengan sebuah garis tipis membentuk bujur sangkar yang di letakan miring. Tecriknya diterbitkan oleh Bouhaus dalam tahun 1927 dimana ia menulis : (1) yang saya maksudkan dengan supartisme adalah supermasi dari perasaanmurni di dalam seni. (2) Ketika dalam tahun 1913, pada saat diusahakannya pembebasan sendiri dari serangan kembali obyektivitas (maksudnya obyek-obyek di alam), saya mengungsi kearah bentuk-bentuk bujur sangkar dan memamerkan sebuah lukisan yang tidak menggambarkan apa-apa kecuali bujur sangkar hitam di atas daerah yang putih, maka para kritis dan masyarakat mencercahnya-mengeluh, “semua yang kita cintai telah hilang. Kini kita berada di tengah padang. Di depan kita berdirilah sebuah bujur sangkar hitam di atas dasar putih” ....Tetai, padang itu terisi dengan semangat perasaan non-obyektif yang menembusi apa saja. (30 Bagi seorang Suprematis, sarannya yang paling cocok adalah suatu yang memberikan ekspresi perasaan murni yang pali penuh dan tidak memusingkan obyek. Obyek itu tidak ada artinya baginya; begitu pula ide-ide dari pikiran yang sadar tidak ada gunanya. Perasaan adalah faktor yang menentukan....maka sampailah seni pada representasi yang non-obyektif, pada suprematisme.
KONSTRUKTIVISME. Aliran ini juga berasal dari Rusia dengan pendiriannya Vladimir Tatlin (1885-1956). Tokih-tokohnya yang lain adalah Antoine Prvsner (1886-1962) dan Naum Gabo (1890- ). Mereka itu berusaha untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensional yang abstrak dengan menggunakan bahan-bahan bagunan moderen seperti kawat, besi, kayu dan kemudian juga plastik. Dengan bahan-bahan itu mereka juga mencari “supreme reality” seperti Malevich. Sayang, setelah revolusi kemudian Rusia tidak menyukai lagi bentuk-bentuk abstrak karena tidak bisa dimanfaatkan dalam propaganda sosial dan terpaksalah kaum avantgardis ini harus meninggalkan negrinya. Gabo dalam tahun 1946 tiba di Amerika Serikat dan Bauhaus yang sejak tahun 1920 menjadi pusat kaum konstruktivis itu pada tahun 1933 terpaksa di tutup oleh Nazi.
NEOPLASTISISME. Neoplastisisme atau yang lebih terkenal dengan De Stijl (diambil dari nama majalah yang menyiarkan ide-idenya), berpusat dari diri seorang pelukis Piet Mondrian (1872-1944). Semula ia adalah lukisan yang mengarah kepada ipressionisme dengan obyek-obyek pemandangan garisnya. Dalam tahun 1906 ia mulai dengan “perubahan-perubahan”nya, dan lukisannya “Komposisi No. 10. Plus dan Minus” yang dilukisnya dalam tahun 1915 ialah sama sekali kehilangan obyek-obyek naturalnya. Gerakan itu sendiri lah pada tahun 1917 bersama Theo van Doesburg, Bart van der Lock dan pelukis-pelukis, pematung-pematung serta arsitek-arsitek lain sebagai anggotanya.
Dari tulisan-tulisan Mondrian, jelaslah dasar-dasar grakan ini: (1) Bahwa semua lukisan itu terdiri dari garis dan warna yang merupakan dari padanya. Oleh karena itu garis dan warna harus di bebaskan dari beban pembaruan alam dan membiarkanya berada untuk garis dan warna itu sendiri; (2) lukisanitu menempati bidang datar; oleh karena bidang datar tersebut harus menghormati, dibiarka seperti itu, tidak dikelabui dengan gambaran ruang lukisan. Lukisan harus sedatar bidang dimana ia berada; (3) Pelukis yang berusaha untuk mengejar universitalitas harus menyederhanakan bentuk. Maki sederhana makin mendekati universil. Oleh karena itu, bentuk yang paling sederhana, ialah empat segi panjang, harus merupakansatu-satunya bentuk dan (4) Makin murni warna kini cocok kepada universalitas. Warna yang murni adalah warna-warna prima merah, kuning dan biru. Oleh karena itu warna-warna itulah yang harus dimanfaatkan, masing-masing bicara untuknya sendiri.
Maka lahirlah lukisan-lukisan Modrian, “Komposisi dengan kuning” (1936), “Irama dalam garis-garis lurus” (1942), “Broadway Boogie Woogie (1943), dan lain-lain.
PURISME. Dalam tahun 1836- ) dan Le Corbusier (1887- ) menemukan sebuah teori lagi ialah purisme. Gerakan ini dimaksudkan sebagai reaksi terhadap keanalitisan kubisme yang berlebihan yang perlu dimurnikan lagi. Bagi mereka itu kubisme telah sampai pada jalan buntu dan berlebih-lebihannya menjadikan kubisme tidak lain dari pada sekedar ramuan-ramuan dekoratif saja. Oleh karena itu harus ada reform untuk mengembalikannya kepada abstraksi yang terarah.
Filsafat purisme dapat diketemukan dalam manifesto-nya (Apres Le Gubisme) yang diterbitkan dalam tahun 1918. sekalipun kemudian ternyata bahwa golongan purisme ini kurang mendapat tempat dalam lapangan seni lukis, namun pengaruhnya didalam design cukup besar. Dan Le Corbuster sebagai seorang arsitektur tentu saja memanfaatkanya dalam bangunan-bangunan ciptanya. Rumah tinggal buatannya, Savoye House, merupakan titik tolak dari adanya revolusi dalam arsitektur rumah tinggal, yang kemudian segera akan diikuti dengan ciptaan-ciptaanlaindalam design baru itu dan membentuk corak baru. Analog dengan apa yang ada di dalam seni lukis, Savoye House ini merupakan design yang abstrak terdiri dari integrasi antara bidang-bidang datar dan melengkung, dari closed dan open space, yang ditentkan oleh garis-garis yang tajam dan bersih.
Rupanya teori purisme memang memerlukan realisasi dalam bentuk tiga demensional untu menyelesaikannya sampai pada titiknya. Keinginan akan bentuk-bentuk yang murni ini selain dipaparkan lewat seni arsitektur, sudah terang menuju pula ke arah seni patung. Constantin Brancusi (1876-1957), orang-orang pematung dari Rumania yang kemudian dengan memasukinya, banyak membuat karya-karyanya yang benar-benar murni, misalnya “Burung di udara”, (1925) dan “Patung buas si buta” (1924). Patung-patung Brancus ini adalah patung-patung yang benar-benar berurusan dengan form and space, patung-patung yang benar sculptural. “Burung di udara”nya itu adalah suatu inovasi di dalam hal kristalitasi perkembangan dan sebagai efek kedalaman, dari pada sekedar penggambaran gerakan yang nampak dari luar (penggambaran obyek dalam keadaan gerak), sedang “Patng buat si buta”-nya, sesuai dengan namanya, adalah patung yang harus dipegang, diraba dan dirasakan permukaannya yang tergosok halus. Lagi pula patung ini, sejalan dengan patung-patung Brancusi yang lain, secara idiil harus dipandang sebagai lambat-lambat, sehingga konturnya yang ditentukan oleh tepi-tepi serta gelap-terangnya, akan merupakan suatu Flow yang tidak putus-putusnya.
Contoh karya purisme
D A D A I S M E D A N S U R R E A L I S M E
DADAISME. Di bulan Pebruari tahun 1916 pada saat berkecambuknya perang Dunia I, seorang penyair Rumania Tristan Tzara dan teman seasalnya Marcel Janco, dua penulis Jerman Hugo Ball dan Richard Huelsenbeek serta senirupawan dari Perancis Hans Arp (1887-1966) berkumpul di Cabaret Voltaire di Zurich, suatu kota yang netral. Pada saat kelompok-kelompok yang ada di Paris, Munchen, dan lain-lain, sedang dirongrong oleh peperangan, kelompok Cabaret Voltaire ini mendirikan sebuah kelompok internasional dengan nama Dada. Nama ini begitu saja diambil dari sebuah kamus Jerman-Perancis yang kebetulan berarti bahasa anak-anak untuk menyebutkan kuda mainan. Cara mereka mengambil nama ini saja sudah menunjukkan bagaimana sikap mereka itu, ialah sikap nihilitis menolak semua hukum-hukum seni dan keindahan yang sudah ada, sebagai perotes terhadap nilai-nilai sosial yang makin menjadi collapse. Mereka itu meneriakan “To hell with Cezanne!” dan Assassiner la pienture!”. Karya-karya mereka juga kup sinis. Ada sebuah reproduksi lukisan Monalisa yang dibubuhi dengan kumis ada lagi yang berjudul “Kepala yang mechanistis” (Raoul Hausmann, 1919-20) sebuah gambaran kepala manusia dari kayu dimana dipakukan macam-macam barang lain. Ducham juga mengejutkan dengan beberapa “ready-mades”nya, ada rode sepeda ada pengering botol, bahkan ada pula tempat kencing, yang diangkatnya dari tempat sampah dan dinakkan diatas alas-alas patung atau bahkan dimasukkan ke dalam karung kaca. I Dan lest but not least, Hans arp menciptakan art metic drawing-nya dan Tristan Tzare menggatuk-gatukan kata-kata yang tertulis di kartu-kartu begitu saja, dan terjadilah puisi dengan kalimat-kalimat yang dihasilkan dari padanya. Memang, sinisme dan ketiadaan ilusi adalah ciri khas Dada yang diekspresikan dalam bentuk main-main, mistis ataupun sesuatu yang menimbulkan shock.
Teori Dada adalah : Apabila duniaini selama tiga ribu tahun tidak bisa merencanakan perkembangannya, adalah juga tidak mungkin bagi seorang artis untuk berpura-pura menemukanketeraturan dan arti dalam kekacauan ini. Oleh karena itu Dada menolak setiap kode moril, sosial maupun estetis. Pandaran estetis Dada ialah tidak ada estetika, karena estetika dihasilkan oleh pikir, sedang dunia ini telah terbuktu tanpa pikir. Suatu pandangan yang jelas berasa dari kemuakan terhadap keadaan dunia, karena perang, karena kekacauan. Padahal ini erat hubungannya dengan pandangan Die Neue Sachlichkeit dan memang Grosz juga pernah bereksposisi bersama dengan kaum Dada ini.
Segera setelah berdiri, mereka menerbitkan brosur dengan kepala “Cabaret Voltaire”, dan setahun kemudian, di bulan Maret 1917, “Galerie Dada” di buka. Sesudah itu majalah Dada, buku-buku tentang Dada bermunculan. Dalam masa 1917-20 mereka menyelenggarakan banyak pameran yang “ramai dan kacau” di kota-kota Eropa, yang satu diantaranya terpaksa ditutup oleh polisi.
PITTURA METAFISICA, PENGAWAL SURRELISME. Dalam perang Dunia I pula, dalam sebuah rumah sakit tentara di Ferrara, seorang futurist Italia Carlo Carra (1881- ) bertemu dengan Giorgic de Chirico (1888- ) yang menyatakan telah menemukan jenis seni baru yang lain dari aliran-aliran dalam seni modern yang sudah ada, ialah seni lukis yang mendasarkan dirinya pada metafisika (Chirico telah memulainya disekitar tahun 1911-12). Selanjutnya dalam tahun 1919 ia menyatakan bahwa segala sesuatu itu memiliki dua aspek, ialah aspek yang biasa sebagaimana kita lihat sehari-hari (dan biasa ditangkap oleh semua orang) dan aspek yang metafisis yang hanya bisa ditangkap oleh orang-orang tertentu pada saat yang tertentu pula (transendental). Katanya, seni harus membawakan kualitas yang metafisis itu, kwalitas yang tidak nampak dalam outline-nya yang biasa.
Pertemuan antara dua pelukis itu telah melahirkan Pittura Metafica (metaphysical picture, lukisan metafisis) yang merupakan cara baru untuk melihat dunia ini, yang nanti akan membuka jalan bagi lahirnya kelompok yang lebih luas lagi, ialah kelompok surrealisme. Karya-karya mereka menggambarkan sesuatu yang aneh, asing, karena sepinya, susunannya atu obyek-obyek yang terdapat di dalamnya. Chirico banyak mengeksploiti perspektif untuk menciptakan suasana itu, bukan persepektif yang biasa, melainkan persepektif campur aduk. Dalam “Gare Mentparnasse” (1914) misalnya, sebuah jalur putih dikiri (seperti jalan) semula menuju kesatu titik dibawa cakrawala, kemudian sejajar menuju cakrawala, padahal deretan tiang disebelahnya mengikuti hukum yang biasa. Maka jalur yang disana tampak luas, lebih-lebih lagi karena justru disitu ada terdapat dua orang kecil-kecil berdiri dengan bayang-bayangnya memanjang. Disebelah kiri ada bidang tegak diatas tanah yang titik lenyapnya tidak dicakrawala. Demikianlah, perspektif yang dibuat membingungkan ini menjadikan yang nonton merasa asyik. Masih ditambah lagi dengan permainan cahaya dan bayangan yang biasanya kontrastik, bayangannya panjang-panjang...dan keseluruhannya memberikan kesan kepada kita, kesepian yang mengerikan, melankolin dan absurditas. Karya-karya Chirico yang lain dalam jenis ini antara lain ialah “Turinmelankoli” (1915),”Melankoli misteri sebuah jalan” (1914), sedang “Hector dan Andromache” (1917), “Hetaricus besar” (1917) adalah contoh karyanya yang anehnya karena obyek yang digambarkan.
Cara muncul dengan karya-karyanya “Penelopo” (1917), “Pohon pinus tepi pantai” (1921) dan tokohnya seorang lagi, ialah Giorgio Morandi (1890- ) yang menyusul kemudian menghasilkan antara lain beberapa “Alam benda metafisis”nya (1919).
Cloud Shepherd karya Hans Arp
SURREALISME. Pada dasarnya surrealisme adalah gerakan dalam sastra istilah itu sendiri diketemukan oleh Apollinaire untuk menamai dramanya dalam tahun1917. dua tahu kemudian Andere Breton mengambilnya untuk menyebut oksrimennya dalam metode penulisan yang sepontan. Baru pada tahun 1924 akhirnya Breton Melansir Manivesto kaum Surealist sejak saat mana surealisme dianggap lahir. Gerakan ini dipengaruhi oleh teori-teori psikologi dan pesiko-ansa Freud, dan berkatalah Andere Breton dalam manivesto: “Surealisme adalah tomatisme pesikis yang murni, dengan apa proses pemikiran yang sebenarnya ini diekspresikan, baik secara verbal, tertulis, ataupun cara-cara yang lain... “Surealisme bersandar pada keyakinan kami pada realitas superior dari bebasan asosiasi kita yang telah lama kita tingalakan, pada keserba bisaan mimpi pada pemikiran kita yang otomatis tanpa kontrol dari kesadaran kita. “oleh karena itu banyak pula menganggap bahwa kepentingan lukisan-lukisan surealisti itu tidak pada usahanya pada bidang seni rupa, melainkan pada nilai-nilai pesikologisnya. Namun perlu juga diingat bahwa sebenarnya orang-orang seperti Max Errnst, Andre Ason dan Joan Miro itu tidak pernah kematian minat akan problem-problem bentuk.
Esposisi surrealisme yang pertama berlangsung dalam tahun 1925 dan menyangkut tokoh-tokoh seperti Art, Errnst, Chiricho, Andre Mason (1896) Joan Miro (1893- ) dan Picasso, sekalipun tidak semuanya adalah anggota kelompok ini. Kemudian menyusullah Yves Tanguy (1900-55), Rene Magritte (1898- ) Salavador Dali (1904) dan Roberto Matta (1911- ).
Kemudian timbullah dua tendensi dalam surrealisme, ialah : (1) Surrealisme ekspresif dimana siseniman melewati semacam kondisi tidak sadar, melahirkan simbol dan bentuk-bentuk dari perbendaharaannya yang terdahulu. Tergolong dalam goongan pertama ini misalnya Nasson dan Miro dengan karya-karyanya “Patung” (1925), “Hewan terluka” (1929) oleh Nasson, dan “Komposisi” (1933) “Wanita dan burung diterang bulan” (1949, “Komposisi” (1953) oleh Miro. (2) surrealisme murni, dalam mana siseniman menggunakan tekhnik-tekhnik akademis untuk menciptakan ilusi yang absurd, dengan tokoh utamanya Salvador Dali dan karya-karyanya “Jerapah terbakar” (1935) ataupun “Konstruksi lunak dan kacang rebus” (1936).
Karya Salvador dali
Lukisan-lukisan yang surealistis sesungguhnya sudah lama ada pittura metafisiea yang timbul hanya beberapa tahun yang terdahulu, tetapi jauh diabad-abad yang lampau, terdapatlah pelukis-pelukis seperti Mierany nus Bosch (c.1450-1516), Pieter Bruegel (1564-c.1637), William Bloke (1757-1827), dan lebih akhir lagi Odilon Rodon (1840-1916) yang sudah melukis secara serrealistis, sekalipun tidak memproklamirkannya.
MARC CHAGALL, Tokoh fantastis yang oleh kaum surealist sendiri sering dianggap sebagai pelopornya ialah Chagall (1887- ) seorang Rusia yang dalam usia duapuluhan pindah dan menetap di Paris. Sekalipunhampir seluruh sisa hidupnya di Paris, tetapi ingatannya pada tanah asal masih segar, pada kampungnya, cerita-cerita rakyatnyayang menghidupi ciptaan-ciptaannya. Lihat saja misalnya “Aku dan kampungku” (1911) dan “Kesepian” (1933). Lukisannya penuh dengan kesegaran, kelembutan dan nostalgia, bertemakan percintaan, perkawinan, yang dilukiskan secara fantastis , sering-sering naif, kekanak-kanakan. Menarik sekali gambaran tokoh-tokohnya yang sering dibuatnya melayang-layang, diselang-seling dengan pohon dan karangan bunga atau ayam dan kambing. Permainannya pada kubisme dapat dilihat dalam karyanya “The Poet, or Half Past Three” (1911), yang jelas menunjukan gaya kubisme analitis ala Chagall.
JOAN MIRO. Miro (1893- ) adalah pelukis kelahiranSpayol yang pada tahun 1925 bertemu dengan kaum Surrealist. Suralisme bagiannya mempengaruhinya untuk berfantasi lebih bebas dengan caranya sendiri. Lukisannya “Anjing menggonggong Bulan” (1933) kiranya adalah yang paling berdekatan dengan corak teman-teman suralist-nya, namun ia menumbuhkan coraknya yang lebih khas Mire, dengan lukisannya “Burung Malam” (1939), “Bulan Lila” (1951) maupun “Komposisi” (1933). Pada yang terakhir ini kelihatan ia mengeksploitir bentuk-bentuk keamubaan yang sering ia lakukan yang menunjukan dunia yang aneh, dunia fantasinya Miro.
Miro banyak terpengaruh oleh Paul Klee, dan sama-sama memiliki dunia fantasi yang luas. Seni Miro adalah kombinasai antara kenyataan dan impian; humor dan horor, dan sering sekali setengah menyenangkan setengah menyakitkan.
Multiplication of the Arcs (kiri) dan Premontory Palace (kanan) karya Yves Tanguy yang beraroma Surealisme
R E A L I S M E S O S I A L I T I S M E X I C O
Penolakan terhadap seni abstrak telah berlangsung dalam tahun-tahun 1920-30, baik di Eropa maupun di benua Amerika berbeda-beda. Di Rusia setelah revolusi disebabkan karena seni abstrak tidak dapat dimanfaatkan untuk propaganda sosial, kaum Dada menganggapnya terlalu rasional, Surrealist memandang sebagai tidak memberi kesempatanbagi munculnya bahwa sadar yang sudah lama terpendam, dan bagi pejuang-pejuang kebangsaan Mexico, seni abstrak kurang sesuai buat tujuan-tujuan didaktis dan perjuanganmereka.
DIEGO RIVERA. Tokoh yang paling menonjol dalam panggung seni lukis Mexico adalah Diego Rivera (1886-1957). Setelah pelewatannya ke Eropa yang pertama (1910) ia menghasilkan karya-karya yang eklektis-maneritis keeropaan yang tidak wajar. Namun dalam perjalanannya yang lain ia singgah di Italia dan ternyata fresco-fresco Renaissance Italia itu telah menjadi gurunya yang baik, dan setibanya kembali di Mexico segera ia menemukan corak nasionalistis Mexico-nya dalam waktu yang relatif singkat. Dan dalam sepuluh tahun kemudian ia telah menutupi tembok demi tembok di Mexico dengan lukisan-lukisan didindingnya yang telah mendapatkan repotasi internasional (pada saat itu nasionalisme di dalam seni tidak lazim !)
Dalam seninya yang nasionalitis itu Revera ingin menggali tradisi negrinya dan sekaligus mendidik rakyatnya yang baru saja keluar dari kegelapan buta hurufnya serta mempopulerkan pemerintahnya yang baru. Maka segera populerlah darinya sendiri pula, karena seninya “dimengerti” (?) orang banyak, kepopuleran yang kata orang, harus dibayar mahal ialah dengan ekspresinya individunya sendiri yang terkenal oleh didikasi sosialnya. Yang jadi soal dalam hal ini ialah, apakah dedikasi sosial itu merupakan suara individunya itu tidak. Kalu itu adalah suara batinnya, kiranya sama saja dengan yang lain. Memang setiap pelukis justru harus punya dedikasi, ada yang dicari, tidak apakah ia berupa luapan emosinya seperti Van Gogh, ataukah keinginan melukiskan yang jelek-jelek seperti Courbet, penggalian bahwa sadar ala surrelisit. Ataupun yang lain-lain lagi.
Karya Rivera yang terkenal ialah “Pembebasan Pekerja” (1931), sebuah kombinasi antara teknik yang tinggi (buon fresco), komposisi yang kena dan ia yang tepat, yang terbaca oleh orang yang tidak bisa membaca sekalipun : perkebunan si tuan tanah terbakar di kejauhan dan dilatar denga beberapa parajurid revolusioner sedang melepas ikatanseorang pekerja dan menutupi tubuhnya dengan terlanjang.
Lukisan-lukisan yang lain ialah “Pohon-pohon tebu” (1931) dan “Dan Martir menyuburkan tanah” (1926-27). Beberapa gedung di Amerika Serikat berhasil hasil karya Rivera dan teman-teman seperjuangannya yang tereta juga memberikan pengaruhnya pada perkembangan seni dinegara itu, terutama pada diri Ben Shahn (1898- ) yang dalam proyek-peroyek tersebut menjadi masternya.
JOSE CLEMENTE OROZCO. Saingan kuat Diego Rivera adalah Orozco (1883-1949). Kalu melihat fresco-fresco Orozco seperti “Dewa-dewa Dunia Modern” (1832-34) yang ada di Dartmoust College, U.S.A. itu misalnya, sesunguhnya kiranya merasa seperti bukan fresco saja. Gayanya ekspresif sosialitis (cukup ) dan volume serta sepace-nya tegas-kuat, mengingkari kedataran bentuk temanya. Orozco menyadari ini. Semula memang berusaha melukiskannya ala Pevaradisinya. Lukisan Orozco adalah lukisan dalam artian yang sebenarnya, Mural, bukan propaganda. Tema-nya adalah jiwanya sehingga lukisannya adalah suatu ekspresi, bukan design buat dimanfaatkan.
Lukisan-lukisan yang lain ialah “Zapata” (1930), “Barricade” (1931) dan yang ada di Dartmouth pula, “Cortez dan salib dan mesin” (1932-34).
GENERASI MUDA. Dua orang lagi yang pantas disebutkan, ialah David Maro Siqueieos (1898- ) dan Rufino Tamayo (1899)- ) yang lebih mudaan. Kamu Revera adalah yang paling realitis-sosialitis, dan Orozco bernafaskan ekspresionisme, maka Siqueiros mengarah kepada surrealisme dan Tamayo segera membeli kepada tata cara Eropa. Nyatanya memang arus realisme-sosial ini mereda dalam tahun empatpuluhan.
Siqueiros belajar di Eropa selama dua tahun untuk mencari sarana yang terbaik untuk penyaluran vitalitas serta heroismenya. Karya-karyanya antara lain “Peperangan” (1939) dan “Wajah kontenporer kita” (1947), yang dua-duanya menunjukan kesan surrealitisnya. Ia juga aktif dalam organisasi sosial yang menjadikannya sering keluar-masuk penjara.
Karya-karya Tamayo adalah “Wanita-wanita dari Tehuantepee” (1939) dan binatang-binatang” (1941). Dari keduanya terasa sangkutannya pada aliran Eropa warnanya, nafasnya, dan dalam lukisannya “Wanita-wanita dari Tehuantepee” itu ia bereksperimen dengan kubisme dan sedikit teori-teori faufisme.
MASALAH-MASALAH TEKNIS. Dengan munculnya kembali seni lukis dinding ini, muncul pula teknik-teknik penemuan baru karena diketemukannya acylic. Rivera dalam karya-karyanya melaksanakan buon fresco (fresco sejati) ialah pigment curni yang dicatkan secara langsung pada dinding yang masih basah. Pada waktu dindingnya kering, maka bigment tersebut merupakan bagian yang integral dari dingding. Kemudian muncullah material-material baru seperti politec, pyrerylin, ethyl silicate, dan sebangsanya. Maka dipenuhilah Mexico dengan lukisan-lukisan dinding, baik didalam maupun di luar gedung. Kalu dahulu bangunan-bangunan itu biasanya ditaburi dengan relief dan patung, maka kini Mexico, ada bangunan yang seolah-olah terbungkus dengan lukisan-lukisan dinding. Lihatlah misalnya, dengan University di Mexico City.
A M E R I K A S E R I K A T
ABSTRAK EKSPRESSIONISME DAN LAIN-LAIN
Pada tahun 1913 Armory Show di New York yang terkenal itu (dimana lukisan Duchamp “Bertelanjang turun Tangga” adalah satu diantaranya) telah mengetengahkan karya-karya pada avantgardist Eropa kepada publik di Amerika. Semula pemeran ini hanya akan menyertakan pelukis-pelukis Amerika sendiri, khususnya kelompok Robert Heri kelompok Ash Can Sehool, yang realismenya dimanfaatkan untuk kritik-kritik sosial itu) dan kelompok pelukis mudaan disekitar Gallery Stieglitn. Akhirnya yang dari Eropapun masuk dan mewakili semua aliran yang ada.
Pameran ini besar pengaruhnya bagi perkembangan selanjutnya di Amerika Serikat. Sekalipun sebelum itu telah terdapat pula pelukis-pelukis seperti Max Weber beroreantasi ke Eropa, namun kepopulerannya jauh kalah. Pada tahun 1915terbentuk lah kelompok seni moderen di New York dengan selegan “New York Dada” dan Duehamp yang telah beberapa saat menetap di sana menjadi titik pusat pusarannya. Ternyata kelompok ini berikut reaksi terhadapnya, telah menjadi sumber perkembanganseni lukis Amerika diwaktu itu.
Edward Hopper (1882-1967) adalah salah seorang artist yang berada dibarisan yang disejajarkan dengan Neue Sachlichkeit, dengan “magie realism”nya banyak menampilkan realitas di Amerika dalam lukisan-lukisannya seperti “House by the railroad” (1925) dan “Early Sunday morning” (1930), suatu eksplorasi terhadap lingkungan di sekitarnya yang sebelumnya sudah di rintis oleh Banton danGrant Wood. Sementara itu Sheoler yang terkena pengaruh Leger dan Purisme mengungkapkan realitas yang lain lagi, ialah realitas mesin dan pabrik-pabrik yang “dingin” seperti lukisannya “America Landscape” (1930) itu. Dan klimaks dari itu semua akhirnya terdapat didalam diri Ben Shahn (1898- ) setelah tahun tigapuluhan. Shahn tertarik pada kondisi sosial yang pahit pada waktu itu (karena depresi pada tahun 1929) dan berusaha untuk menangkapnya. Hasilnya ekspresif dan kadang-kadang naif. Ada pengaruh dari Rivera dan Orozco yang pernah dibantunya, tetapi ia tidak tertarik pada pathos, melainkan pada melankoli dan puitiknya hidup yang sehari-hari yang lumran disekitarnya. Lihatlah lukisan-lukisannya “Station Wost Virginia” (1937) dan lebih-lebih lagi “Handball”nya (1939) yang terkenal.
Stuart Davis (1894-1964) adalah tokoh yang menonjol dengan karya-karyanya yang datar, dengan warna-warna yang cemerlang dan organisasi yang kuat. Ia mendapatkan pengaruh dari faufisme, kubisme (sintetis) dan mungkin juga De Stjil. Dengan lukisannya yang geometris-abstrak itu pada tahun 1937 ia membentuk kelompok Seniman Abstrak Amerika, dan dengan datangnya tokoh-tokoh seperti Piet Mondrian dan Josef Albers ke Amerika, kelompok ini menjadi kuat. Namun gerakan yang paling matang dan berpengaruh dalam sejarah seni lukis Amerika adalah abstrak Ekspressionisme yang bermula dengan impovisasinya Kandisky dan berbuah di tangan Gorky, Pollock, dan lain-lainnya. Sementara itu pada tahun 1935 Mark Tobey (1890- ) dengan tarikannya pada filsafat Persia serta Zen Buddhisme menemukan tarikan-tarikan yang lebih ritmis hampir otomatis yang dapat menyalurkan intuisinya. Dua tahun kemudian Merris Graves (1910- ) mengingkarinya.
Karya-karyanya “Slind Bird” (Graves 1940), “Tundra” (Tobey, 1944) dan Tropikalisme” (Tobey, 1948).
ABSTRAK EKSPRESIONISME. Gerakan didalam seni lukisan Amerika yang paling dinamis di tahun-tahun empatpuluhan dan tahun-tahun sesudahnya adalah abstrak-impresionisme. Suatu perkembangan yang pemasakannya di New York dalam masa isolasi karena peperangan di antara tahun 1942-48 dan segera mempengaruhi corak dalam seni lukis. Namun hal inipun bukan suatu keajaiban. Duchamp sudah di sana sejak 1915. Ozenfant tibah tahun 1938 dan setahun kemudian Yvos Tanguy.
Sumber utama dari gerakan yang eksplosif ini ialah improvisasinya Kandinsky yang kemudian ditambah dengan dadaismenya Duchamp serta surralismenya Miro dan Klee. Di antar pelaku utamanya adalah Arshile Gorky (1905-48), Hans Hofmann (1880-1966), Willem De Kooning (1904- ), Tomlin (1889-1953) dan Franz Kline (1910-1962). Mereka itu sering disebut juga “action painters”. Mereka itu pada umumnya bermula dengan lukisan-lukisan yang representasionil yang kemudian dengan jalannya sendiri-sendiri sampai kepada seni baru yang non-obyektif ini. Hans Hofmann bertolak dari teori-teori Matisse dan di tahun 1937 sampai kepada abstrak-ekspresionisme, sedang Gorky dan Pollock yang sering kesetudionya itu, sebelumnya terpengaruh oleh surrealisme.
Gorky, seorang pionir dalam gerakan ini, amat berdekatan dengan Kandisky dan kaum surrealist di dalam hal akspresi otomatis dari gambaran-gambaran yang memerlukan kekuatan untuk menariknya kembali, melahirkannya menjadi bentuk-bentuk seni. Karyanya “The Berothal II” (1947) adalah satu contoh pemunculan kondisi emosionil yang dalam ini yang diperoyeksikan secara sepontan dalam bentuk yang luwes dan unik. Karya-karya yang lain “Garden in Sochi” (1940) dan “The liver is the cock’s comb” (1944).
Jackson Pollock adalah tokoh yang paling populer dihubungkan dengan abstrak ekspresionisme ini. Dengan kematiannya karena kecelakaan mobil ditahun 1956 ia ditokohkan oleh press dan kadang-kadang memberikan gambaran yang tidak tepat. Yang jadi terkenal adalah “action”nya, merentang kanvas di laici, menuangi cat, berjalan di atasnya dan sebagainya. Apa yang ada dibaliknya kurang mendapat sorotan. Di dalam hal ini ia sendiri menyatakan:
“bila saya dalam lukisan saya, saya tidak tahu apa yang saya lakukan. Hanya setelah melewati semacam priode “pengenalan” lah baru saya menetahuinya. Saya tidak takut untuk membuat perubahan-perubahan, merusaki gambaran-gambaran yang sudah ada, dan sebagainya, karena lukisan memiliki kehidupannya sendiri (maksudnya, tidak harus meniru sesuatu, SP). Dan saya mencoba untuk menimbulkan kehidupan ini. Celoteh dan selekeh akan terjadi hanya ambila saya putus hubungan dengan lukisan tersebut. Apabila tidak, maka yang menjadi adalah yang murni, suatu give and take yang anak dan berhasillah lukisan itu dengan baik.”
Lukisan karya jackson pollock
Orginalitas Pollock terdapat dalam ungkapan “concrete pictorial sensation”. Tentu saja sensasi seperti ini perlu bagi setiap seni lukis namun yang dimaksud oleh Pollock adalah sensasi yang terbebas dari ingatan atas gambaran-gambaran yang sudah ada atupun gambar-gambar dari bawah sadar.
Hans Hofmann adalah pelukis kelahiran Bavaria yang mendapatkan didikan seni rupa dari Munchen. Setelah bermukim di Paris dan beberapa kali ke Italia, pada tahun 1932 ke Amerika Serikat (Los Angelos) dansetelah mendapatkan kewarganegaraannya (tahun 1941) banyak tinggal di New York. Tidak mengherankan apabila coraknya amat berdekatan dengan kaum fauvist dan Blaue Reiter terutama pada kecemerlangan warnanya daripada kaum abstrak ekspresionis yang lain. Dalam taraf pemulaan corak Hofmann banyak mempengaruhi teman-temannya.
Robert Motherwell memiliki bentuk-bentuk yang lebih tegas dan sederhana dan baginya tempo kurang memegang peranan. Karya “Elegy to the Spanist Republic XXXIV (1953-54) dan “The Voyage” (1930) menunjukan ini semua. Selain sebagai pelukis, ia adalah juga penulis dan menjadi juru bicara dari kelompoknya.
Willem De Kooning adalah pelukis kelahiran Belanda yang datang di Amerika di tahun 1926. Ia mempunyai latar belakang kubisme dan sedikit atau banyak kadang-kadang ini terasa pada beberapa karyanya. Pada suatu ketika ia menyederhanakan warna-warnanya hampir tinggal merupakan kontras hitam dan putih saja, pada saat mana Franz Kline juga muncul dengan black-and-white-nya. Tetapi pada waktu ia memulai seri lukisannya “Wanita” pada tahun-tahun 1951-55 (bahkansampai sekarang juga) muncullah kembali warna-warna itu dan bermuncul adalah lukisan-lukisan wanita yang seram seperti “Woman and Bicycle” (1952), Weman II (1952) dan “Marilyn Monroe” (1954). Goresannya liar, keras, penuhvitalitas.
Sesudah tahun 1955 lukisan DeKooning menjadi lebih abstrak. Dalam lukisanya “Suburb in Havana” (1958) menakjubkan sekali potensi warna dan goresan. Warna-warna dan goresan yang sederhana namun cukup memberikan tegangan-tegangan yang hebat.
Franz Kline muncul dengan ornamen-show-nya dalam tahun 1950. kanvasnya besar-besar, semuanya terisi dengan goresan-goresan besar dan kuat, hitam di atas putih. Dari goresannya itu, jenis actionyang lain lagi terdapat, goresanspontan penuh dinamika dan ekspresi garis-garisnya karya-karyanya, “New York” (1953), “Third Avenue” (1954) dan “Wanamaker Block” (1955).
Sederet peserta abstrak ekspresionisme yang lain masih bisadisebut, seperti Bradley Walker Tomlin dengan anyaman brush-strokenya, Philip Gusa (1912- ) yang lebih kompak bentuk-bentuknya, Adolph Gottlieb (1903- ) yang terpancar dari dalam (lihat “Blast I”, “Blast II”, 1957), Clyfford Still 1904- ) dengan bentuk-bentuknya yang melayang-layang, dan, yang lain daripada yang lain, Mark Rothko (1903- ). Yang terakhir ini mendasarkan karya-karyanya kepada kemampuan warna yang didalam lukisannya memegang peranan penting, ia tidak memberi kesempatan pada pemunculan garis dan bentuk. Namun warna-warna ini bukan warna-warna yang kontras dengan orkestrasinya yang meriah, melainkan warna-warna nuansa yang lebih dari dua warna yang menjadi tema pokok. Kanvas yang besar-besar biasanya terbagi dua secara tidak telas yang masing-masing terisi dengan warna utama tadi, sedang diantara dan disekitarnya terdapatlah nuansa-nuansanya yang memberikan sugesti kepada kita untuk memperluas bidang-bidang kanvasnya yang menerobos bingkainya. Dalam lukisan Othko, pengertian picture-frame dengan isinya yang tertentu seperti yang dulu-dulu itu tidak berlaku lagi, karena isi tersebut diperluas secara infinit.
T I N J A U A N S E N I P A T U N G
Banyak yang mengklaim bahwa barangkali seni patung adalah bentuk seni yang tertua. Betul atau tidak, yang jelas adalah bahwa dalam jaman kuno dan jaman pertengahan seni patung memang memiliki posisi yang baik sekali. Tetapi ini tidak berlangsung terus. Segerah telah jaman Ronaisance apalagi sesudah abad ke tujuh belas seni lukisan mengalahkan seni patung dalam segala hal, baik kepopulerannya maupun pencapaian-pencapaiannya. Salah satu sebabnya terulang adalah menjadi populer seni lukis esel sejak jaman Renaisance itu : angan demikian lukisan tidak perlu besar, sudah di usahakan oleh si seniman tanpa menunggu order, dan selanjutnya, bisa sering dibuat, biasa banyak dibuat, bisa banyak coba-coba tanpa terlalu kuatir akan resiko.
Sejak itu seni patung di belakang seni lukis. Ada inpresionisme dalam seni lukis ada pula impresionisme dalam seni patung dan satu demi satu, kubisme, porisme, ekspressionisme, surrealisme, susul-menyusul. Ada juga pelukis-pelukis pematung yang ingin mencobakan coraknya dalam kebebasan ruang abstrak, dan ada pul kemudian para pematung yang berkelompok dalam aliran-aliran tertentu bersama pelukis-pelukis. Sekarang ini antara seni lukisan dan seni patung sudah susah dicari batas-batasnya, demikian pula terhadap seni-seni yang lain. Yang ada tinggalah : seni modern.
Menarik sekali pembagian Ritehie dalam Sculpture of the Twentieth Rntury, yang menggolong-golongkan seni patung secara Choronologis menjadi :the object dissected, at rest and in motion; the object contructed on geometric Maciples; the object and the subconseious”.
Auguste Rodin (1840-1917) adalah pelopor seni patung modern, yang dari masa kosong setelah perginya Michelangelo. Pengaruhnya amat besar dengan dunia seni patung dan mungkin ia adalah pematung terbesar dalam abad kita. Ia adalah seorang impresionis dan juga ekspresionis. Sekalipun ia tidak terhenti di situ saja, kiranya Rodin banyak mendapat dari teori kaum impesionis. Memang patungnya bukanlah sekedar pemindahan teori seni lukis ke dalam ruang, tetapi kesejahteraannya memang ada. Permukaan patung-patungnya dipecah-pecah menjadi faset-faset yang memberikan efek cahaya dan bayangan. Baginya patung adalah “the hole and the lump”. Karya-karya “The Gates of Hell” (1880-19 ) “The Kiss” (1883), dan “Jugglers” (1909). Teman semasanya adalah Medardo Ross (1858-1923), seorang pematung Italia, dan Emile-Antoine Bourdelle 91861-1929).
Pelukis-pelukis pematung impresionisme ialah Degas dengan karya-karyanya “Suatu studi buat Penari dengan pakaian” (1872) dan “Penari kecil, empatbelas tahun” (1880-1), dan Ronoir dengan “Venus Victorious” (1914), dan “Warta Pencuci” (1917).
Matisse adalah pelukis patung yang lebih serius. Tokoh-tokohnya dalam patung tidak ubahnya dengan lukisannya, dibumbuinya dengan arabeska. Dari istruksinya kepada murid-muridnya dapat kita tangkap pengertiannya tentang cabang seni ini : bahwa bagi proposisi yang penting bukan ketepatannya dengan kenyataan, melainkan ketepatannya dengan parasaan dan sifat-sifat finis modelnya. Setiap benda tentu memiliki sifat-sifatnya finis yang khas ini, dan oleh karena itu demi untuk ekspresi, sifat-sifat ini harus ditonjolkan. Ingatlah perdirinya, L’ exactitude n’est pas la verite.” Selanjutnya ia menyatakan bahwa model itu tidak harus dibuat atas dasar teori yang sudah ditentukan; sebaliknya, orang harus melupakan teori-teori dan dari model tersebut ia mendapatkan kesan yang menimbulkan sesuatu emosi yang kemudian ingin untuk mengekspresikannya.
Karya-karya Aristide Maillol (1861-1944) tergolong idealisasi bentuk-bentuk. Katanya “bentuk itu menyenangkan adalah sekedar sarana untuk mengekspresikan ide-ide. Ide-ide itulah yang saya cari. Saya mencari bentuk agar dapat menemukan yang tidak berbentuk. Yang saya maksud adalah yang tidak dapat diraba dan dilihat.” Didalam seni patung ia tergolong orang yang mengembalikan seni patung sebagai seni bentuk, self-contained dan self-sufficient. Karya-karya Maillol, antara lain, “Leda” (1902) dan “The River” (1939-43).
Pematung-pematung Jerman modern yang pertama adalah Ernst Barlach (1870-1938) dan Wilhelm Lehmbruck (1881-1919) dengan contoh karya-karyanya “Orang menarik Pedang” (Barlach, 1911), dan “Pemuda Duduk” Lehmbruck, 1916). Dua-duanya bernafaskan ekspresionisme sekalipun mereka itu tidak banyak berusaha dengan kaum ekspresionis. Dapat juga ditambahkan di sini Kathe Kollwit (1867-1945) seniwati grafik itu.
Patung “Kepala Wanita” Picasso adalah satu diantara patung-patung mistis yang pertama. Kemudian menyusul pematung-pematung lain, seperti Lipchitz, Henri Laurens dan sebagainya. Patung Umberto Boccioni (1882-1916) “Kontinuitas Bentuk dalam Ruang” (1913) adalah variasi kubisme yang futuritis (bandingkan misalnya dengan gerakan ciptaan Branini, “Apollo dan Daphme” yang dibuat tiga abad sebelumnya)
Dengan datangnya seni abstrak kepeloporan seni lukis atas seni patung mulai berkurang. Dalam banyak hal pematung bersama pelukis melahirkan sesuatu corak baru. Bahkan dalam konstrukvisme, Tatlin, Pevsner dan Gabo adalah pematung-pematung, atau katakanlah, seniman-seniman yang bergerak dalam tiga dimensional. Karya-karya Pevsner “Torso” (1924-26) dan “Potret Marcel Duchamp” (1926), serta Gobo “Kepala yang dikonstruir, no. 2” (1916) adalah contoh-contoh seni patung konstruktif yang masih bersangkutan dengan bentuk-bentuk alam (manusia), sedang karya-karya mereka yang belakangan seperti “Konstruksi” (Povsner, 1933) dan “Konstruksi dalam ruang” (Gabo, 1937) adalah bener-bener non-obyektif.
Picasso dalam lukisannya pernah serrealistis, membuat juga patung-patung yang surrealistis, seperti “Figure” (1931) dan “Patng dada Wanita” (1932). Sedang Max Ernst, Jean Arp, Alberto Giacometti (1901-1966). Joan Miro, adalah benar-benar kaum surrealist. Lihatlah, “Sang Raja bermain dengan Pemaisuri” (Ernst, 1944), “Bintang” (Art, 1939-60), “Wanita tercingcang” (Gianya. Julio Gonzalez (1876-1942) seorang Sepanyol yang sering pula bekerjasama dengan Picasso itu, adalah juga seorang surralist dan banyak hasil-hasilnya yang dibuat dari besi. Di dalam hal ini ia telah menemukan satu teknik kerja yang sesuai. Komentarnya:
“Abad besi telah mulai berabad-abad yang lampau dengan hasil-hasilnya yang indah, namun sayang, sebagai besar berupa senjata. Sekarang ini besi dimanfaatkan untuk jembatan dan jalan kereta api. Sampailah waktunya kini buat besi untuk tidak lagi jadi alat pembunu ataupun alat bagi ilmu yang mekanis. Akhirnya sekarang pintu terbuka baginya untuk dijamah oleh tangan-tangan seniman yang penuh kedamaian.”
Beberapa dua karya Gonzalez adalah : “Dunia Ibu” (1933), “Malaikat” (1933) dan “Wanita menyisir rambut” (1937).
Alexander Calder (1898- ) dan Henry Moore (1898- ) sering juga dihubungkan dengan surrealisme, namun kalu kita kembali pada definisinya Brete “ Otomatisme pesikis yang murni”, terang Calder tidak masuk kedalamnya, doman pula Moore yang oleh Read dikelompokkan dalam “The Vital Image”
Calder yang pernah mendapat didikan teknik itu, memulai patung-patung mobilnya dalam tahun 1931. bentu-bentuk yang datar, olear-cat dan lebih-lebih lagi mobilnya itu, merupakan sesuatu yang untuk dalam sejarah seni patung dan sekali lagi membuat arah pandang menuju ke Amerika. Inspirasinya datang dari kubisme, Miro dan kaum Konstruktivist, tetapi inovasinya adalah dari orisinil.
Vitalisme bermula dengan Picasso, tetapi dalam seni patung Henry Mere adalah tokohnya yang mengembangkan. Bagi More sebuah karya pertama-tama memiliki vitalitas dalam dirinya sendiri, vitalitas yang tidak sekedar releksi dari luar. Ia juga kurang tertarik pada keindahan ekspresi ala Jurni yang katanya hanya menyenangkan kesadaran kita saja, sebaliknya ia tertarik pada kekuatan ekspresi yang memiliki vitalitas spirituil yang lebih dalam dan menggetarkan.
Moore berfaliasi dengan beberapa pengaruh, dengan kubisme, surrealisme, dengan patung-patung Afrika dan Colombia serta patung-patung Inggris seni diri dari abad pertengahan. Kemudian memasaknya menjadi ekspresi yang tersendiri dan terkenal karena hubungannya yang tidak terputus-putus antara kontur dan perforasi bentuk-bentuknya yang mengakibatkan bersatunya volume dan spad dalam karya-karyanya. Lihat saja beberapa “Reclining Figures”nya.
Selain Henry Moore, Inggris juga memiliki Barbbra Hepworth (1903- ) dan kemudian juga Reg Butler (1913- ), Kenneth Armitage (1916- ) dan Lynn Chadwick (1914- ). Sejak Moore Inggris menjadi seni patung konteporer. Sementara itu di Amerika Serikat terdapat David Smith(1906-1965), Theodore Rolzak (1907- ) Seymour Lipton (1903- ), Isamu Noguchi (1904), dan lain-lain. Dan dari Italia muncullah Marino Marini (1901- ).
E P I L O O G
Sejak dua abad yang lalu terjadilah macam-macam gerakan pembaharuan dalam seni (khususnya seni lukis) untuk memperoleh statusnya yang sekarang. Mula-mula merupakan sebuah arus tunggal yang akan lamban, makin lama makin bercabang-cabang dan makin deras menuju ke samudra luas, ialah seni rupa dunia sekarang ini dimana segalanya bisa terjadi, dari yang paling realitis-fotografis seperti karya-karya Andrew Wyeth yang paling abstrak seperti dwiwarnanya Rothko, dan dari yang paling halus semisal “Bird in space”nya Brancusi sampai kepada yang paling kasar dan jorok, misalnya “State Hospital”nya Kienholz.
Pada tahun 1784 David dengan bersahaja memulainya. Perubahan yang dipaparkan pada “Sumpah Horatif”nya itu tidak revolusioner, namun ia ada dan sudah dikumandangkan. Ia hanya mengubah isi, bahwa seni tidak harus menggambarkan bidadari cantik, tetapi juga dapat menggambarkan yang berat-berat, suatu hal yang sekarang tidak asing lagi. Kini kita bilang, seni bukanlah semata-mata proyek keindahan dan kenikmatan, melainkan adalah juga cara lain untuk memecahkan persoalan.
Beberapa tahun kemudian Delaeroix muncul dengan emosinya dan dengan individunya yang menonjol. Dengan ditambah fantasinya Goya, maka hala-hal yang tidak rasionil memasuki dunia seni. Ini sesungguhnya juga bukan soal baru.
Dalam pertengahan abad yang lalu muncullah Manet yang tidak ingin berurusan dengan masalah-masalah isi dalam lukisannya. Baginya lukisan adalah soal bentuk, soal garis, soal warna; satu tendensi yang banyak ekornya dalam saat-saat berikutnya, sampai kepada pendapat : kalu begitu kenapa tidak melukis yang abstrak saja, lebih efesien. Maka sesungguhnya dengan pendobrakan Manet ini seni lukis telah sampai kepada setatusnya yang sekarang, terbebas dari kaidah-kaidah kebentukan dan tidak terikat pula oleh isi atau simbolisme yang manapun juga. Sesudah itu, sebenarnya tinggallah pengisian saja dari kebebasan ini.
Macam-macam tendensi yang timbul kemudian makin menjadi jelas pada akhir abad ke sembilanbelas dengan munculnya tokoh-tokoh raksasa : Cozanne, seurat, Van Gogh dan Gauguin. Disatu pihak Cozanne dan Surat menuju ke seni bentuk yang mengarah kepada kubisme dan futurisme dan seterusnya Neoplastisisme, konstruktivisme dan seterusnya, sedang di pihak lain Van Gogh dan Gauguin memperkenalkan penyaluran ekspresi melewati seni untuk kemudian menuju kefauvisme, ekspresionisme dan abstrak-ekspresionisme. Maka ramailah Eropa pada dua puluh tahun yang pertama abad ini karena bermunculan macam-macam aliran seni rupa tersebut. Dan kini kita lihat bahwa aliran-aliran itu beranak cucu, dan karena pencarian yang terus-menerus, yang berupa timbul, sehingga dunia seni rupa dewasa ini diwarnai oleh kemacam-ragam dan keluasan horisonya.melewati seni untuk kemudian menuju kefauvisme, ekspresionisme dan abstrak-ekspresionisme. Maka ramailah Eropa pada dua puluh tahun yang pertama abad ini karena bermunculan macam-macam aliran seni rupa tersebut. Dan kini kita lihat bahwa aliran-aliran itu beranak cucu, dan karena pencarian yang terus-menerus, yang berupa timbul, sehingga dunia seni rupa dewasa ini diwarnai oleh kemacam-ragam dan keluasan horisonya.
B I E L I O G R A F I
Arnason, H.H., History of Modern Art : Painting, Sculpture, Architeeture, Harry N. Abrams, Ine., New York.
Battcock, Gragoriy (ed), Minimal Art, A Critical Anthology, E.P. Dutton dan Co. New York, 1968.
Brion. Marcel, et al. Art Since 1945, Harry N. Abrams, Inc. Publishers, New York, 1958.
Canaday, John, Mainstreams of Modern Art, Simon and Sohuster, New York, 1962
Chatelet, Albert, Mainstreams of Meden Art, Mograw Nill Book Companym Ine. New York, Toronto, London, 1962.
Cheny, Sheldon, A Primer of Modern Art, Liveright Publishing Corporation, New York, 1958
Duthuit, Georges, The Faufist Painters, Wittenbors, Sehultz, Inc., New York, 1950.
Finch, Christopher, Pop Art object and imege, Studio vista Limited, London, 1968.
Galloway, John, Modern Art : The Nineteenth and Twenteth Centuries, WM. C. Wrown Company Publishers, Dubuque, Icwa, 1967.
Haftman, Werner, Painting in Teh Tnenteth Century, 2 jilid (terjemahan Ralph Manheim), F.A. Preeger. Inc., New York, 1967.
Hunter, Sam, Nodern American Painting and Sculpturo, Laurel Edition, 1962.
Hunter, Nodern French Painting 1855-1956, Laurel Edition, 1962
Jaffe, Dr, H.J.C., Twenticth Century Painting, Widenfild Nicholson, London, 1960.
Kranz, Kurt, Art : The Reyealing Experience, Shorewood Publishers Inc., New York 1960.
Kuh, Katherine, Breek-up : The core of modern art, New York, Graphic Society, Greenwich, Conn., 1965.
Lake, Carlton and Robert Maillard, A Dictionary of Modern Painting, Mathuen and Co. Ltd., London, 1959.
Mailland, Robert, Mesteroice es in the History of Painting, Rinehart and Winston, New York, et al 1961
Myars, Bernard S., Modern Art in The Making, MoGrow-Hill Book Company Inc New York, Toronto, London, 1959.
Newmeyer, Sarah, Enjoying Modern Art, Mentor Books, New York, 1957.
Newton, Eric, European Painting and Soulpture, Pengwin Books, London, 1960.
Raynal, Maurico, Modern Painting, Albert Skira, Gonevo, 1966.
Read, Herbert, A Concire History of Modern Painting, F.A. Praeger, New York, Washington, 1964.
BAB II
STANDAR KOMPETENSI
Mengekspresikan Diri melalui karya Seni Rupa
KOMPETENSI DASAR :
- karya seni Lukis yang dikembangkan dari beragam unsur seni rupa Nusantara dan Mancanegara.
- Membuat karya Seni Lukis sesuai konsep Siswa menggunakan media kanvas dan cat minyak
PENDAHULUAN :
Melukis adalah kegiatan mengolah medium dua dimensi atau permukaan dari objek tiga dimensi untuk mendapat kesan tertentu. Medium lukisan bisa berbentuk apa saja, seperti kanvas, kertas, papan, dan bahkan film di dalam fotografi bisa dianggap sebagai media lukisan. Alat yang digunakan juga bisa bermacam-macam, dengan syarat bisa memberikan imaji tertentu kepada media yang digunakan
A. Jenis-jenis Lukisan :
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
1. Anamorfisme
Anamorfisme berarti penyajian perspektif atau proyeksi yang terdistorsi. Lebih khusus istilah ini mengacu kepada imaji yang terdistorsi sedemikian rupa hingga hanya akan terlihat normal jika dilihat dari sudut tertentu.
Leonardo's Eye (Leonardo da Vinci, sekitar 1485) adalah salah satu contoh karya anamorfosis tertua yang pernah ditemukan.Hans Holbein the Younger adalah salah satu contoh pengguna trik anamorfisme dalam karyanya.
Kubah dan rangka langit-langit dari
Gereja St. Ignazio di Roma
Rome, yang dilukis oleh
Andrea Pozzo, memperlihatkan contoh ilusi ini. Diawali oleh kekhawatiran kubah yang terlalu tinggi akan mengganggu pencahayaan untuk bangunan di sekitar, maka Pozzo ditugaskan untuk membuat ilusi kubah tersebut daripada harus membangun kubah yang sebenarnya. Bagaimanapun, karena karya ini tetap bersifat
dwi matra, hanya pada titik tertentu saja pengunjung bisa merasakan kubah ini benar-benar nyata.
Contoh lain adalah lukisan kapur di trotoar oleh
Kurt Wenner dan
Julian Beever di mana lukisan kapur, ubin, dan bangunan di sekitar menyatu menjadi sebuah ilusi.
IMAX,
Cinemascope dan format layar lebar lain bisa menggunakan teknik anamorfisme untuk menciptakan ilusi pemandangan
trimatra dari slide
dim2. Tehnik Sotto in su
Sotto in su, berarti
terlihat dari bawah (atau populer pula dengan sebutan
di sotto in su), adalah teknik lukisan ilusionistis yang biasanya digunakan untuk lukisan langit-langit untuk memberikan persepsi perspektif. Setiap elemen yang dilihat oleh pemirsa disusun agar memberikan ilusi yang tepat.
3. Hatching
Hatching (hachure dalam Bahasa Perancis) dan juga cross-hatching adalah teknik dalam lukisan dan karya grafis yang digunakan untuk memberikan efek warna maupun bayangan dengan membuat garis-garis paralel. Jika garis-garis paralel ini ditimpa dengan garis-garis paralel lain yang saling berpotongan, maka teknik ini menjadi cross hatching.Perupa menggunakan teknik ini dengan memvariasikan jarak, sudut, panjang, dan jenis-jenis
garis sehingga dihasilkan gradasi bayangan tertentu.Teknik ini sangat populer pada masa
Renaisans Awal
Tehnik dasar hatching adalah bahwa kepadatan, jumlah, dan ketebalan garis akan sangat mempengaruhi efek bayangan yang dihasilkan. Dengan meningkatkan kepadatan, jumlah, dan jarak antar garis, maka bayangan yang dihasilkan semakin gelap, begitu pula sebaliknya.
Kontras bayangan bisa pula dicapai dengan mendekatkan dua jenis hatching yang berbeda sudut garisnya. Sebagai hasilnya, variasi garis ini akan memberikan ilusi warna, yang bila digunakan secara konsisten akan mengasilkan
imaji yang realistis.
4. Impasto
Contoh pengaplikasian impasto dengan akrilik
Impasto adalah teknik lukisan di mana cat dilapiskan dengan sangat tebal di atas kanvas sehingga arah goresan sangat mudah terlihat. Cat yang digunakan bisa pula tercampur di atas kanvas. Saat kering, teknik impasto akan menghasilkan tekstur yang jelas, sehingga kesan kehadiran objek lebih terasa. Cat minyak sangat cocok dengan teknik ini, sebab ketebalannya yang tepat, proses pengeringan yang lama, dan sifat opacitynya yang buruk. Sifat ini bahkan bisa diperkuat dengan penggunaan linseed oil. Akrilik bisa diolah dengan teknik impasto, meskipun sangat jarang karena cat jenis ini mengering dalam waktu singkat. Sementara pemakaian teknik impasto pada cat air maupun tempera hampir mustahil tanpa medium pengental seperti Aquapasto™. Efek yang ditimbulkan
Impasto memberikan dua efek. Pertama memberikan kesan pantulan cahaya berbeda dibandingkan dengan goresan kuas biasa. Yang kedua memberikan kesan ekspresi yang lebih kuat. Pemirsa lukisan bisa menyadari seberapa kuat kuas atau pisau palet digoreskan, serta kecepatan goresannya.
Tujuan pertama lebih sering dipakai oleh pelukis klasik seperti Rembrandt, seperti untuk memperlihatkan lipatan kain atau pantulan cahaya dari perhiasan. Sementara tujuan kedua sering digunakan oleh pelukis pada era modern seperti Vincent van Gogh. Frank Auerbach menggunakan teknik impasto secara berlebihan untuk menampilkan kesan trimatra yang benar-benar kuat.
5. Trompe l'oeil
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Trompe-l'œil berasal dari frase Perancis yang berarti "menipu mata", dengan asal kata tromper - menipu dan l'œil - mata. Secara istilah Trompe-l'œil berarti teknik lukisan yang melibatkan teknik dan perhitungan tinggi untuk menyajikan objek-objek di dalam lukisan yang mampu menghasilkan ilusi optis untuk menipu persepsi otak terhadap imaji. Meskipun kata ini baru muncul pada periode Barok, penggunaan teknik trompe-l'œil sebenarnya telah terjadi jauh sebelumnya. Biasanya teknik ini dipakai pada mural, sebagai contohnya di reruntuhan kota Pompeii. Contoh-contoh yang klise dari trompe-l'œil adalah jendela, pintu, atau koridor tiruan yang dimaksudkan menciptakan ilusi ruangan yang luas. Dengan pemahaman yang sudah sangat dalam tentang perspektif pada masa Renaisans, pelukis sangat sering menambahkan teknik trompe-l'œil ke dalam lukisan mereka, untuk merusak batas antara imaji dan kenyataan. Sebagai contoh, seekor lalat bisa saja terlihat menempel di atas bingkai lukisan, sehelai kertas terlihat menempel di atas papan tulis, atau orang yang terlihat menggapai lukisan. Interior dari gereja Jesuit pada periode mannerisme di bagian langit-langit sering memperlihatkan lukisan dengan teknik trompe-l'œil. Lukisan-lukisan ini biasanya memperlihatkan usaha anamorphosis dari dasar gereja menuju langit untuk memperlihatkan proses pengangkatan Yesus atau Bunda Maria. Trompe-l'œil juga bisa ditemukan di berbagai furnitur, seperti meja ataupun kursi, seperti misalnya kartu permainan yang bisa terlihat sangat nyata di atas meja. Teknik ini diperkenalkan kembali di Amerika Serikat pada abad 19 oleh pelukis William Harnett. Pada abad 20, Richard Haas membuat mural dengan pemanfaatan teknik trompe-l'œil di kota-kota Amerika. Varian lain dari teknik trompe-l'œil adalah Lukisan matte, teknik dalam pembuatan film di mana beberapa bagian adegan yang rumit digambarkan di atas kaca yang dilapiskan di depan kamera selama proses syuting berlangsung. Contohnya di dalam film-film awal Star Wars. Di dalam kartun, trompe-l'œil sering ditemukan dalam Looney Tunes. Misalnya di dalam Road Runner, Wile E . Coyote menggambarkan terowongan palsu tetapi Road Runner selalu berhasil berlari menembusnya. Saat Coyote dengan bodoh mengikuti Road Runner, ia malah menabrak lukisan tersebut. Contoh lukisan dengan teknik Trompe l'oeil
6. Sfumato
Sfumato adalah istilah yang digunakan dan dipopulerkan Leonardo da Vinci untuk merujuk pada lukisannya yang melapiskan warna-warna yang berdekatan untuk menciptkan ilusi kedalaman, volume, dan bentuk. Sebagai hasil akhir, perpindahan warna tersebut tidak lagi terlihat jelas. Dalam bahasa Italia, sfumato berarti berasap, tetapi dibedakan dengan istilah fumo yang berarti asap. Leonardo sendiri mendeskripsikan sfumato sebagai "tanpa outline", dalam pengertian berkabut atau detail yang tidak dihasilkan oleh penggunaan garis secara disengaja.
Monalisa (Leonardo da vinci) 7. Cyclorama
Cyclorama adalah lukisan yang didesain dalam media silinder dengan maksud pemirsa akan berada di tengah silinder tersebut, dan bisa menikmati pemandangan selebar 360°. Biasanya teknik ini dipakai untuk menampilkan pemandangan alam yang mengagumkan. Cycloramas pertama kali ditemukan seorang bangsa Irlandia, Robert Barker yang ingin membuat panorama dari bukit sekitar Edinburgh, Skotlandia. Ia kemudian membuat karya Cyclorama Edinburgh pada tahun 1787. Karya cyclorama sangat populer di akhir abad 19. Yang paling populer adalah yang menampilkan perjalanan dari kota ke kota, seperti sebuah film modern. Saat pemirsa berdiri di tengah silinder, musik dan narasi akan mengiringi pandangannya. Kadang efek diorama ditambahkan sebagai latar depan untuk mememberikan kesan realistik. Banyak bangunan silinder atau heksagonal didirikan di Amerika Serikat dan kota-kota Eropa unuk memberi ruang bagi lukisan cyclorama.Ada ratusan cyclorama yang dibuat pada masa kejayaannya. Tetapi hanya 30 yang masih terawat dan bisa dinikmati.
8. Chiaroscuro
Chiaroscuro berasal dari kata Italia yang berarti gelap-terang yang bisa juga diartikan menjadi kontras yang sangat kuat antara cahaya dan bayangan di dalam suatu karya seni. Hal yang menjadi ciri khas chiaroscuro adalah pengaplikasian cahaya pada objek lukisan yang memberikan kesan trimatra sangat jelas akibat pengaplikasian highlight dan bayangan. Teknik ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang perspektif, reaksi permukaan benda terhadap pantulan cahaya, dan proses pembentukan bayangan. Berbeda dengan gambar dari zaman modern, kesan trimatra tidak dihasilkan oleh kontur goresan kuas, tetapi hanya dari gradasi warna terang ke gelap.
Teknik ini mulai diperkenalkan pada abad 15 oleh pelukis Italia dan Flander (Belgia Utara). Tetapi pemanfaatannya secara luas baru terjadi pada abad 16, pada periode Mannerisme dan Barok. Objek yang cenderung berwarna gelap diberikan pencahayaan secara dramatis oleh sumber cahaya dan terkadang tidak terlihat di dalam lukisan itu sendiri. Sebagai contoh pengusung teknik ini adalah Ugo da Carpi (c.1455-c.
1523),
Giovanni Baglione (
1566–
1643) and
Caravaggio (1573-1610).
Teknik ini kemudian merambah seni cetak pada abad 18, yang sering dipakai dalam karya
aquatint,
xylograf, dan gambar-gambar dengan tinta china lainnya.
Teknik chiaroscuro dalam karya cetak sedikit berbeda dengan teknik
camaieu Jerman, di mana efek grafis terlihat berbeda jelas dalam pembentukan efek pantulan plastik, dan lebih sering menggunakan medium kertas berwarna.
Di dalam dunia sinema, Sin City adalah contoh film yang mengaplikasikan teknik ini.
B. JENIS MEDIA
· Melukis menggunakan Cat air (water colour painting)
· Melukis menggunakan Crayon/ pastel calour.
· Melukis menggunakan Pensil gambar
· Melukis menggunakan Spidol
· Melukis menggunakan Cat Poster
· Melukis menggunakan Cat minyak
· Melukis menggunakan Cat Akrilik
· Melukis menggunakan airbrush
· Melukis menggunakan tehnik cetak grafis
Peralatan penunjang
· Kuas (kuas cair/ kuas cat minyak)
· Palet (plastic/ triplek)
· Pisau palet
· Minyak cat
· Tri foot / standar
Media melukis :
· Kertas
· Kanvas
· Triplek
· Kayu
· Tembok
· Dan bahan lainnya
Tahapan Proses
1. Membuat Konsep
2. menentukan media
3. membuat sketsa
4. Finishing